PERKEMBANGAN NILAI, MORAL, SIKAP, DAN KEAGAMAAN REMAJA


PERKEMBANGAN NILAI, MORAL, SIKAP, DAN KEAGAMAAN REMAJA

A.    Pengertian Nilai, Moral dan sikap
Menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam persepektif Spranger , kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejarahan . Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi Spranger tetap mengakui kekuatan individu yang dikenal dengan istilah “ roh subjektif “ (subjective spirit). Sementara itu,kekuatan nilai-nilai budaya merupakan “roh objektif” (objective spirit ) Dalam kacamata Spranger, kekuatan individual atau roh subjektif didudukan dalam posisi primer karena nilai-nilai budaya hanya akan berkembang dan bertahan apabila didukung dan dihayati oleh individu. Spranger menggolongkan nilai ke dalam enam jenis, yaitu:
1.      Nilai Teori/Nilai Keilmuan
2.      Nilai Ekonomi
3.      Nilai Sosial/Nilai Solidaritas
4.      Nilai Agama (A) dasar pertimbangan benar menurut ajaran agama,kontras dengan nilai (I)
5.      Nilai Seni (S) dasar pertimbangan rasa keindahan/rasa seni terlepas dari pertimbangan material ,kontras dengan nilai (E)
6.      Nilai Politik/Nilai Kuasa (K) dasar pertimbangan kepentingan diri/kelompok,kontgras dengan nilai
Sementara itu, istilah Moral berasal dari kata latin “Mos Moris dan Mores”,yang berarti adat istiadat,kebiasaan ,peraturan/nilai-nilai atau tatacara dalam kehidupan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi/kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok social dan masyarakat. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral /aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan social secara harmonis, adil dan seimbang.
Sunarto H dan Agung Hartono (2008), mengutip pendapat Purwodarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral adalah ajaran tentang baik buruk, perbuatan dan kelakuan ahlak, kewajiban dan sebagainya. Elida Prayitno (1992), mengutip pendapat Santrock & Yussen (1977), menyatakan moral adalah sesuatu yang menyangkut kebiasaan atau atauran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Rahmat Wahab & Solehuddin (1999 : 180), menyatakan bahwa pengertian moral mengacu pada baik buruk dan benar salah yang berlaku di masyarakat secara luas. Berdasarkan beberapa pengertian moral diatas, dapat disimpulkan bahwa moral adalah ajaran tentang baik buruk, benar salah, akhlak, aturan yang harus dipatuhi dan sebagainya. Maka moral merupakan kendali, kontrol dalam bersikap dan bertingkahlaku sesuai dengan nilai-nilai kehidupan, yaitu norma-norma yang berlaku dalam masyarakat atau prinsip-prinsip hidup yang menjadi pegangan hidup seseorang atau Moral merupakan bagian penting yang sangat berhubungan dengan perkembangan sosial dalam membuat judgement atau keputusan dalam berperilaku.
Moral juga diartikan sebagai ajaran baik dan buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya.Dalam moral diatur segala perbuatan yang nilai baik dan perlu dilakukan,dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang salah.Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. istilah moral atau moralitas menurut Mc Devitt & Ormrod mengacu pada suatu kumpulan aturan dasar yang berlaku secara umum mengenai benar atau salah.
Nilai-nilai moral itu seperti seruan untuk baik kepada orang lain,memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, larangan, berjudi, mencuri, berzina, membunuh dan meminum khamar. Seseorang dapat dikatakan bermoral,apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Sejalan dengan perkembangan moral keagamaan mulai disadari bahwa terdapat aturan-aturan perilaku yang boleh,.harus atau terlarang untuk melakukannya. Aturan-aturan perilaku yang boleh atau tidak boleh disebut moral.
Proses penyadaran moral tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dari lingkungannya dimana ia mungkin mendapat larangan, suruhan, pembenaran, persetujuan, kecaman atau celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan.
Terkait dengan masalah moral, ada beberapa teori yang menyoroti tentang perkembangan moral anak: Pertama, perkembangan moral menurut Teori Psikoanalisa Sigmund Freud. Freud menyoroti perkembangan moral dengan mengandalkan perkembangan kepribadian yang terjadi pada anak. Freud secara khusus menekankan pada bagaimana anak merasakan dan membedakan tentang benar dan salah. Kedua, perkembangan moral menurut Teori Piaget. Fokus perhatian Piaget adalah kaitan antara perkembangan moral yang terjadi pada seseorang dengann perkembangan kognitif orang tersebut. Ketiga, Perkembangan Moral Menurut Teori Kohlberg. Teori perkembangan moral Kohlberg sangat dipengaruhi oleh teori perkembangan kognitif dari Piaget. Yang menjadi fokus perhatian Kohlberg yaitu perkembangan penalaran (moral reasioning). Keempat, perkembangan moral menurut Pandangan yang Berorientasi Perilaku (Pandangan Behavioristik). Para tokoh behavioristik menekankan pada peran orangtua sebagai pelatih perilaku moral pada anak-anaknya. Menurut pandangan behavioristik semua perilaku termasuk moral adalah produk dari penilaian reinforcement, hukuman dan model dari orangtua.
Menurut Fishbein (1985). Sikap ialah predisposisi (kecenderungan) emosional yang dipelajari untuk merespons secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel latent yang mendasari,mendireksi,dan mempengaruhi perilaku.Sikap diekspresikan ke dalam katakata/ tindakan hasil reaksi terhadap objek,baik orang. Peristiwa, situasi dan lain sebagainya. Sedangkan sesuai dengan konsep Chaplin ( 1981 ) dalam “Dictionary of Psychology” menyamakan sikap yaitu dengan pendiriaan. Menurutnya Sikap yaitu predisposisi/kecenderungan yang relative stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku/bereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap orang, lembaga/peristiwa, baik secara positif maupun negatif/predisposisi untuk melakukan klarifikasi dan kategorisasi .
Stephen R Cover ( 1989 ) mengemukakan tiga teori determinisme (faktor yang menentukan) yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:
a.       Determinisme Genetis (genetic determinism) sikap individu ditirunkan oleh kakek  - neneknya
b.      Determinisme Psikis (psychic determinism) sikap individu merupakan hasil dari perlakukan,pola asuh/pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya.
c.       Determinisme lingkungan (environmentall determinism ) perkembangan sikap seseorang itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlalukan individu tersebut (Mohammad Asrori,2008:159-161 )

B.     Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol yang berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan akan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman,pegangan,atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang(Sarwono,1989). Pembentukan nilai-nilai baru ini dilakukan dengan cara identifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha mengembangkannya sendiri.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal,yakni mulai mampu berfikir abstrak dan mulai mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotetis,maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu,tempat,dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka(Gunarsa,1988). Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggapnya sebagai suatu yang bernilai walau belum mampu mempertanggungjawabkannya secara pribadi(Monks,1998). Perkembangan pemikiran moral remaja yang demikian ini,jika meminjam teori perkembangan moral dari Kohlberg berarti sudah mencapai tahap konvensional. Pada akhir masa remaja akan memasuki tahap perkembangan pemikiran moral berikutnya yang disebut dengan tahap pasca konvensional/dimana orisinalitas pemikiran moral remaja sudah semakin tampak jelas. Pemikiran moral remaja berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak tergantung lagi pada pendapat atau pranata-pranata yang bersifat konvensional.
Perubahan sikap yang cukup menyolok dan ditempatkan sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap menantang nilai-nilai dasar hidup orang tua dan orang dewasa lainnya(Gunarsa 1988),apalagi kalau orang tua atau orang dewasa lainnya berusaha memaksakan nilai-nilai yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang melawan pranata adat kebiasaan yang ditunjukkan oleh para remaja ini merupakan gejala wajar yang terjadisebagai unjuk kemampuan berpikir kritis terhadap segala sesuatau yang dihadapi dalam realitas. Gejala dikap menentang pada remaja itu hanya bersifat sementara dan akan berubah serta berkembang kearah moralitas yang lebih matang dan mandiri.
Lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja menurut michael yaitu:
1.      Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrae.
2.      Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
3.      Penilaian moral menjadi semakin kognitif.
4.      Penilaian moral menjadi kurang egoistic.
5.      Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal.

C.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Lingkungan merupakan faktor penentu bagi pertumbuhan dan perkembangan nilai, moral dan sikap individu (Horrocks : 1976. Gunarsa : 1988). Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral dan sikap individu ini mencakup aspek psikologis, sosial, budaya dan fisi kebendaan, seperti yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
1.      Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan didalamnya anak mendapatkan pendidikan yang  pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merupakan lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak yang belum sekolah. keinginan dan harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang  memilikidan menjunjung tinggi nilainilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan prilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua.
2.      Lingkungan Pendidikan (Sekolah)
Lingkungan pendidikan setelah keluarga, adalah lingkungan sekolah. Sekolah sebagai lembaga formal yang di serahi tugas untuk menyelenggarakan pendidikan tentunya tidak kecil perananya dalam membantu perkembangan hubungan sosial remaja.
Dalam konteks ini, guru juga harus mampu mengembangkan proses pendidikan yang bersifat demokratis. Jika guru tetap berpendirian bahwa dirinya sebagai tokoh intelektual dan tokoh otoritas yang memegang kekuasaan penuh,
Perkembangan hubungan sosial remaja akan terganggu. Untuk itu guru harus mampu mengembangkan perannya selain sebagai guru juga sebagai pemimpin yang demokratis. Artinya, selain menyampaikan pelajaran sebagai upaya mentrasfer pengetahuan kepada peserta didik, juga harus membina peserta didik menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab.
3.      Lingkungan Sosial
Faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi – tradisi sosial dan tekanan – tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan  berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan.

D.    Implikasi pengembangan Nilai, Moral dan Sikap Remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan
Perwujudan nilai, moral dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Proses yang dilalui seseorang dalam pengembangan nilai-nilai hidup tertentu adalah sebuah proses yang belum seluruhnya dipahami oleh para ahli (Surakhmad, 1980 : 17). Apa yang terjadi didalam diri pribadi seseorang hanya dapat didekati melalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan mempelajari gejala dan tingkah laku seseorang ataupun dengan membandingkan dengan gejala atau tingkah laku orang lain.
Pendidikan tersebut dapat dilakukan di rumah tangga, sekolah, dan masyarakat.
1.      Pendidikan moral dalam rumah tangga
Pertama-tama yang harus diperhatikan adalah penyelamatan hubungan ibu-bapak, sehingga pergaulan dan kehidupan mereka dapat menjadi contoh bagi anak-anaknya.
Pendidikan moral yang paling baik, terdapat dalam agama, karena nilai moral yang dapat dipatuhi dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari luar, hanya dari kesadaran sendiri, datangya dari keyakinan sendiri.
Orang tua harus memperhatikan pendidikan moral serta tingkah laku anak-anaknya. Pendidikan dan perlakuan orang tua terhadap anaknya hendaknya menjamin segala kebutuhannya, baik fisik ataupun psikis ataupun sosial.
2.      Pendidikan moral dalam sekolah
Hendaknya dapat diusahakan supaya sekolah menjadi lapangan yang baik bagi penumbuhan dan pengembangan mental dan moral anak didik. Pendidikan agama, haruslah dilakukan secara intensif Hendaknya segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran (baik guru, pegawai , buku, peraturan dan alat-alat) dapat membawa anak didik kepada pembinaan mental yang sehat.
3.      Pendidikan moral dalam masyarakat
Sebelum menghadapai pendidikan anak, maka masyarakat yang telah rusak moralnya diperbaiki terlebih dahulu. Mengusahakan supaya masyarakat, termasuk pemimpin dan penguasanya menyadari betapa pentingnya masalah pendidikan moral anak. Supaya segala mas media , terutama siaan radio dan TV., memperhatikan setiap macam uraian, petunjukan, kesenian dan ungkapa tidak boleh bertentangan dengan agama.




E.     Agama dan Budaya
Budaya menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat  adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan.  Lebih tegas dikatakan Geertz , bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.



DAFTAR PUSTAKA

Asrori, Muhammad, 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima.
Mardiya. Artikel Memahami perkembangan nilai moral Keagamaan pada anak. Kulonprogo
Zakiah Daradjat.1990.  Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT. Bulan Bintang
Sunarto. Hartono Agung. 2008. Perkembangan Peserta Didik.Jakarta : Rineka Cipta
Suhada, Idad. 2009. Perkembangan Peserta Didik. Bandung : Solo
Elida Prayitno. (1992). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Depdikbud.
Rochmat Wahab & Solohuddin, 1998/1999. Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Depdikbud.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P., dan Haditono, S.R. 1998. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Sarwono. 1989. Psikologi remaja / Sarlito Wirawan Sarwono. Jakarta : Rajawali
(diakses tanggal 24 April 2016)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PERKEMBANGAN EMOSI DAN SOSIAL REMAJA



PERKEMBANGAN EMOSI DAN SOSIAL REMAJA

1.         Perkembangan Emosi
Memahami perkembangan remaja tidak hanya dapat dilihat berdasarkan perkembangan social saja melainkan dari apa yang mereka rasakan seperti rasa bangga, dan malu, cinta dan benci, harapan dan ketidakberdayaan, dan perasaan-perasaan takut yang semuanya mencakup pada perkembangan emosional.
Gohm dan Clore (2002) (dalam safaria dan saputra, 2009, 13-14) membagi menjadi dua kategori umum emosi manusia jika dilihat dari dampak yang ditimbulkannya. Pertama, kategori positif atau biasa disebut dengan afek positif. Emosi positif memberikan dampak yang menyenangkan dan menenangkan. Macam dari emosi positif ini seperti tenang, santai, rileks, gembira, lucu, haru dan senang. Ketika kita merasakan emosi positif ini, remaja akan merasakan keadaan psikologis yang positif pula.
Kedua, emosi negatif atau afek negatif. Ketika remaja merasakan emosi negatif ini maka dampak yang dirasakan adalah negatif, tidak menyenagkan dan menyusahkan. Macam-macam emosi negatif yaitu sedih, kecewa, putus asa, depresi, dan lain sebagainya.
Pada masa remaja terjadi ketegangan emosi yang bersifat khas sehingga masa ini disebut masa badai & topan (storm and stress) Heightened Emotionality, masa yang menggambarkan keadaan emosi remaja yang tidak menentu, tidak stabil dan meledak-ledak. Meningginya emosi terutama karena remaja mendapat tejana social dan menghadapi kondisi baru, karena selama masa kayak-kanak mereka kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu. Kepekaan emosi yang meningkat sering diujudkan dalam bentuk, remaja lekas marah, suka menyendiri dan adanya kebiasaan nervous, seperti gelisah, cemas dan sentimen, menggigir kukut dan garuk-garuk kepala.
Terjadinya peningkatan kepekaan emosi pada remaja hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
a)      Perubahan sistem endokrim menyebabkan perubahan fisik
b)      Faktor nutrisi : ketegangan emosi
c)      Anemia : apatis, disertai kecemasan dan lekas marah
d)     Kurang kalsium : lekas marah, emosi tidak stabil.
e)      Adanya cacat tubuh
f)       Hubungan yang tidak harmonis dalam keluarga
g)      Kurangnya model dalam berperilaku
h)      Faktor sosial, tuntutan masyarakat yang terlalu tinggi
i)        Tidak dapat mencapai cita-cita :  frustasi
j)        Penyesuaian terhadap jenis kelamin lain
k)      Masalah-masalah sekolah: masalah penyesuaian diri, emosi, sosial, pertentangan dengan aturan sekolah
l)        Masalah pekerjaan : tidak menentunya kondisi social
m)    Hambatan kemauan: Peraturan di rumah, Norma-norma social, Hambatan keuangan

2.         Perkembangan hubungan sosial
Pada usia remaja pergaulan dan interaksi sosial dengan teman sebaya bertambah luas dan kompleks dibandingkan denga masa-masa sebelumnya termasuk pergaulan dengan lawan jenis.  Pemuasan interlektual juga didapatkan oleh remaja dalam kelompoknya dengan berdiskusi, berdebat untuk memecahkan masalah.  Mengikuti organisasi sosial juga memberikan keuntungan bagi perkembangan sosial remaja, namun demikian agara remaja dapat bergaul dengan baik dalam kelompoknya diperlukan kopentensi sosial yang berupa kemampuan dan ketrampilan berhubungan dengan orang lain.
Suatu penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Bronson, menyimpulkan adanya tiga pola orientasi sosial, yaitu:
a.      Withdrawal vs. Expansive
Anak yang tergolong withdrawal adalah anak yang mempunyai kecenderungan menarik diri dalam kehidupan sosial, sehingga dia lebih senang hidup menyendiri. Sebaliknya anak expansive suka menjelajah, mudah ergaul dengan orang lain sehingga pergaulannya luas.
b.      Reaxtive vs aplacidity
Anak yang reactive pada umumnya memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingg mereka banyak kegiatan, sedangkan anak yang aplacidity mempunyai sifat acuh tak acuh bahkan tak peduli terhadap kegiatan sosial. Akibatnya mereka terisolir dalam pergaulan sosial.
c.       Passivity vs Dominant
Anak yang berorientasi passivity sebenarnya banyak mengikuti kegiatan sosial namun mereka cukup puas sebagai anggota kelompok saja, sebaliknya anak yang dominant mempunyai kecenderungan menguasai dan mempengaruhi teman-temannya sehingga memiliki motivasi yang tinggi untuk menjadi pemimpin

Tujuan perkembangan Sosial Remaja
a)      Memperluas kontak sosial
Remaja tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan kemudahanya, apakan disekolah atau dilingkungan tetngga.  Remaja mulai menginginkan teman yang memiliki nilai-nilai yang sama, yang dapat memahami, membuat rasa aman, mereka dapat mempercayakan masalah-masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orangtua.
b)      Mengembangakan  identitas diri
Remaja dalam kehidupannya mulai ingin menjawab pertanyaan tentang dirinya, siapakah saya?
c)      Menyesuaikan dengan kematangan seksual
d)     Belajar menjadi orang dewasa

Faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial emosional remaja
Perkembangan sosial-emosional pada remaja dipengaruhi oleh 2 faktor. Faktor internal dan eksternal. Yang termasuk faktor internal yaitu pengaruh yang timbul dalam diri sendiri , antara lain kondisi fisik, susunan saraf, kelenjar dan sistem otot, kesehatan penyakit dan sebagainya. Faktor tersebut akan mempengaruhi pembentukan identitas pada diri remaja. Yang termasuk faktor eksternal yaitu lingkungan yang meliputi lingkungan tempat tinggal, teman-teman sebaya, kebudayaan  dan perkembangan remaja. (santrock, 2002, 39)




DAFTAR PUSTAKA

Eka Izzaty, Rita, dkk. 2007. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta
Safaria, Triantoro & Nofrans Saputra. (2009). Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta: bumi Aksara
Santrock, J. W. (2002). Life Span Development. Perkembangan Masa Hidup. Jilid II, Wisnu Chandra, (terj). Jakarta: Erlangga

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS