PERKEMBANGAN MORAL, DAN KEAGAMAAN ANAK –
II
1.
Konsep
perkembangan moral dan keagamaan anak
Konsep
perkembangan pendidikan moral dapat kita cermati dari buah pikiran Piaget dan
Norman J.Bull. Jean Piaget ~ wakil Direktur Institute of Education Sciences dan
Profesor Psikologi Eksperimental di Universitas of Geneve, yang dengan cara
intensif telah melakukan penelitian selama lebih dari 40 tahun terhadap
“Perkembangan Struktur Kognitif (Cognitive Structure) dan Pertimbangan Moral
(Moral Judgement)~, beliau berpendapat bahwa pendidikan moral akan berhasil,
apabila pendidikan itu dilakukan sesuai dengan tahapan perkembangan moral anak.
Dengan kata lain kedua ahli ini mencitacitakan adanya strategi pendidikan moral
yang disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan moral anak. Piaget
mendefinisikan tahap perkembangan moral sebagai berikut:
1.
Pre~moral
yaitu anak tidak merasa wajib untuk mentaati peraturan.
2.
Heteronomi
yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang harus
menaati kekuasaan.
3.
Autonomi
yaitu anak telah mempertimbangkan tujuan dan konsekuensi ketaatannya kepada
peraturan.
Adapun Norman J.Bull (1996) berkesimpulan
bahwa tahap perkembangan moral itu adalah:
1.
Anomi
yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan.
2.
Heteronomi
yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada peraturan, dan merasa
perlu menaati kekuasaan.
3.
Sosionomi
yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai
dengan peraturan kelompok.
4.
Autonomi
yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada peraturan.
Dalam
perkembangan moral itu titik heterotomi dan autonomi lebih menggambarkan proses
perkembangan dari pada totalitas mental individu. Melalui pergaulannya anak
mengembangkan pemahamannya mengenai tujuan dan sumber aturan. Sampai usia tujuh
atau delapan tahun anak dikendalikan oleh seluruh aturan. Terhadap aturan yang
berasal dari luar,anak belum memiliki pengertian dan motivasi untuk konsisten.
Pada tahap autonomi anak menyadari akan aturan dan menghubungkannya dengan
pelaksanaannya.Tahap berikutnya adalah pelaksanaan autonomi.
2.
Tahapan
perkembangan moral dan keagamaan anak
Pertama-tama
moral berkembang melalui adopsi terhadap norma-norma sosial.
Dalam pengertian ini anak mengambil norma yang dipakai oleh orang-orang
dengan cara mencontoh. Oleh karena itu sebagai seorang guru hendaknya
memberi contoh pada muridnya untuk menanamkan norma yang sesuai.
Perkembangan moral dapat juga melalui pemahaman terhadap norma.
Pengalaman sosial ini didapat melalui interaksi dengan institusi sosial,sistem
hukum yang berlaku dan hubungan interpersonal. Bagaimana tahapan
perkembangan moral menurut pandangan berbagai tokoh Psikologi? John
Dewey mengemukakan perkembangan moral dalam tiga tahap,yakni:
1. Tahap pra-moral;
ini ditandai bahwa anak belum menyadari keterikatannya pada aturan
2. Tahap
Konvensional; ini ditandai dengan berkembangnya kesadaran akan ketaatan pada
kekuasaan
3. Tahap Otonom;
ini ditandai dengan berkembang nya keterikatan pada aturan yang didasarkan pada
resiprositas (timbal balik yang sama).
Sedangkan menurut Norman J. Bull terdapat
empat tahap perkembangan moral yakni:
1. Anatomi yaitu
anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan.
2. Heteronomi yaitu
anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada peraturan,dan merasa perlu
menaati kekuasaan.
3. Sosionomi yaitu
anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan
peraturan kelompok.
4. Autonomi yaitu
anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatan pada peraturan.
Sementara itu,Jean Piaget selain
mengembangkan teori kognitif,juga memperkenalkan teori perkembangan moral.
Piaget membagi perkembangan moral atas 3 tahap yaitu:
1.
Pre
Moral (0 sampai dengan 5 tahun). Pada tahap ini anak tidak/belum merasa wajib
untuk menaati peraturan.
2.
Heteronomous
Morality (+ 5 sampai dengan 10 tahun). Pada tahap perkembangan moral ini,anak
memandang aturan-aturan sebagai otoritas yang dimiliki Tuhan,orang tua dan
guru, yang tidak dapatdirubah,dan harus
dipatuhi dengan sebaik-baiknya.
3.
Autonomous
Morality of Cooperation 9usia 10 tahun ke atas). Moral tumbuh melalui
kesadaran,bahwa orang dapat memilih pandangan yang berbeda terhadap tindakan
moral. Pengalaman ini akan tumbuh menjadi dasar penilaian anak terhadap suatu
tingkah laku. Dalam perkembangan selanjutnya,anak berusaha mengatasi konflik
dengan cara-cara yang paling menguntungkan, dan mulai menggunakan standar
keadilan terhadap orang lain.
Menurut Piaget,
pengalaman ini menyadarkan anak bahwa norma bersifat flexible,merupakan
kesepakatan sosial,yang dapat disesuaikan dengan keinginan mayoritas. Lain
halnya dengan Kohlberg. Lawrence Kohlberg, mengembangkan teori perkembangan
kognitif dari Jean Piaget, sehinggga melahirkan teori perkembangan moral.
Melalui penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, akhirnya dapat
menyimpulkan tahap perkembangan moral individu.
Tahap
perkembangan moral dari Kohlberg dikelompokan ke dalam tiga tingkatan:
pra`konvensional,konvensional,dan
pasca konvensional. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu
Teori Perkembangan Kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam
tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian,tidak ada suatu fungsi yang berasa dalam
tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati
suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlakukan,dan
terintegrasi disbanding tahap sebelumnya.
Menurut Kohlberg
(Crain,1992: Gunarsa; Miller; papilia,Old dan Feldman, 1998) ada beberapa tahap
perkembangan moral, diantaranya: pre~conventionalmarality, morality of
conventional role conformity, dan morality of autonomy moral principle.
Tingkat
pra~konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak,walaupun orng
dewasa juga dapat menunjukan penalaran dalam tahap ini. Seseorng yang berada
dalam tingkat pra~konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan
berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra~konvensional terdiri dari dua
tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk
egosentris.
Ketika berada
dalam suatu tekanan,maka individu akan menuruti suatu perintah/peraturan guna
menghindari hukuman (punishment) dan ingin memperoleh suatu kaidah (reward).
Fase pertama,individu
memiliki orientasi kepatuhan dan berusaha menghindari hukuman. Individu harus
patuh pada otoritas (orang tua). Agar menghindari hukuman.Dalam hal ini,
seorang individu belum memiliki kesadaran terhadap apa yang dilakukan.
Kesadaran dan Pemahaman, nilai benarbenar salah, amat ditentukan oleh
evaluasi penilaina orng lain (orang
tua/orang dewasa).
Dengan demikian
kepatuhan individu bersifat semu dan wajar, bila individu tidak akan patuh
kalau bertindak tanpa diketahui oleh orang lain. Dalam fase pertama ini,
individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan
mereka yang dirasakan sendiri. Sebgai contoh, suatu tindakan dianggap salah
secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman
diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu
bahwa sudut orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa
dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Fase kedua, Relativis
Instrumental/ relativistic/ hedonism/ resiprositas/ minat pribadi, yakni ada
faktor pribadi yang bersifat relatif dan memiliki prinsip kesenangan.Anak akan
mematuhi suatu aturan,kalau aturan tersebut membuat dirinya senang atau
menguntungkan dirinya.
Pada fase kedua
ini menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan
dengan apa yang paling diminati . Penalaran tahap dua kurang menunjukan
perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga
berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri,seperti “kamu garuk punggungku,dan
akan kugarung punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada orang lain tidak
didasari oleh loyalitas atau faktor yang bersifat intrinsik. Kekuarangan
persepektif tentang masyarakat dalam tingkat pra~konvensional,berbeda dengan
kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani
kebutuhan diri sendiri saja.Bagi mereka dari tahap dua,perpektif dunia dilihat
sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Fase ketiga, orientasi
mengenai anak yang baik, yakni agar menjadi anak yang baik,maka sikap dan
perbuatan individu harus diterima oleh masyarakat. Mautidak mau, seorang anak
harus patuh dan taat terhadap aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.
Ketidakpatuhan hanya akan mendatangkan cemoohan dan caci maki dari orang lain,
sehingga memalukan diri sendiri atau menjatuhkan harga diri. Dalam fase ini,
seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial.
Individu mau
menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka
mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut,karena telah
mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tiga menilai moralitas
dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekwensinya dalam bentuk hubungan
interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat,rasa terimakasih,
dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk
membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan
peran yang lebih signifikan dalam penalaran, tahap ini ; ‘mereka bermaksud
baik’.
Fase keempat, mempertahankan
normaa - norma sosial. Individu menyadari kewajiban untuk ikut melaksanakan
norma yang ada dan mempertahankan pentingnya norma tersebut. Oleh karena itu
segala sikap dan tindakan dinilai dan diawasi oleh diri sendiri serta
mengontrol tindakantindakan orang lain,agar sesuai dengan norma sosial. Dalam
fase ini, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusaan, dan konvensi sosial
karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam
tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti
dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme
utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus
fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga
akan begitu sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan.
Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga
celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang
buruk dari yang baik.
Fase kelima, orientasi
terhadap perjanjian antar dirinya dengan lingkungan sosial. Individu mempunyai
kesadaran dan keyakinan pribadi bahwa dengan berbuat baik, maka ia pun akan
diperlukan dengan baik pula oleh orang lain. Dan keyakinan ini timbul dari hati
nurani. Dalam fase ini individu-individu dipandang sebagai memiliki
pendapatpendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka
dihormati dan dihargai tanpa memihak.
Permasalahan
yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai
ditahan atau dihambat. Kenyataannya tidak ada pilihan yang pasti benar atau
absolute memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak . Sejalan
dengan itu, hukum dilihat sebagai kontak social dan bukannya keputusan kaku.
Aturanaturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila
perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal
tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini,
pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran fase lima.
Fase keenam, prinsip
universal. Dengan semakin tumbuh dan berkembangnya norma-norma etika dalam
dirinya, maka individu akan menyesuaikan sikap dan tindakannya agar sepadan
dengan prinsip-prinsip kebenaran yang diakui secara global. Jadi melampaui
batas-batas suku, bangsa,agama, dan jenis kelamin.
Dalam fase ini,
penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika
universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap
keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hokum yang tidak adil.
Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial tidak penting untuk tindakan moral
deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan
bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan
membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain,yang
juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikir sama. Tindakan yang diambil
adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara
tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan
karena ada maksud pribadi,sesuai harapan,legal,atau sudah disetujui sebelumnya.
Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan
seseorang yang menggunakannya secara konsisten.Tampaknya orang sukar, kalupun
ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.
(Mohamad Asrori,2008:158)
3.
Faktor – faktor
yang mempengaruhi perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan keagamaan anak
Nilai, moral dan
sikap serta perilaku keagamaan adalah aspek-aspek yang berkembang pada diri
individu melalui interaksi antara aktivitas internal dengan pengaruh stimulus
eksternal. Pada awalnya seorang anak belum memiliki nilai-nilai dan pengetahuan
mengenai nilai moral tertentu atau tentang apa yang dipandang baik atau tidak
baik oleh kelompok sosialnya, selanjutnya, dalam interaksinya dengan
lingkungan, anak mulai belajar mengenai berbagai aspek kehidupan yang berkaitan
dengan nilai,moral dan sikap serta perilaku keagamaanDalam konteks ini
lingkunan merupakan faktor yang besar pengaruhnya bagi perkembangan nilai,
moral, sikap dan perilaku keagamaan individu.
Faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap perkambangan nilai,moral,sikap dan
perilaku keagamaan individu itu mencakup aspek psikologis,sosial,budaya dan
fisik kebendaan,baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun
masyarakat. Kondisi psikologis,interkasi, pola kehidupan beragama, berbagi
sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga,sekolah dan masyarakat
akan mempengaruhi perkembangan nilai,moral,sikap dan perilaku keagamaan
individu yang tumbuh dan berkembang di dalamnya.
Remaja yang
tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan keluarga,sekolah dan masyarakat yang
penuh rasa aman secara psikologis,pola interaksi yang demokratis,pola asuh bina
kasih,dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki
nilai luhur,moralitas tinggi,serta sikap dan perilaku keagamaan yang terpuji.
Sebaliknya,individu yang tumbuh dan berkembang dalam kondisi psikologis yang
penuh konflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang penuh otoriter
dan permisif,dan kurang religius, maka harapan agar anak dan remaja berkembang
menjadi individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, sikap dan
perilaku keagamaan yang terpuji menjadi diragukan.
(Mohammad Asrori,2008:164-165)
4.
Proses
pembelajaran untuk membantu perkembangan Nilai, Moral, Sikap dan keagamaan anak
Berdasarkan
sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi
melalu identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi
mereka gambarangambaran yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang
simpatik,orang-orang terkenal dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri. Syamsu
Yusuf (2007: 133) Menyatakan bahwa : “Perkembangan moral seorang anak banyak
dipengaruhi oleh lingkungannya, terutama dari orang tuanya”.
Dari pernyataan
diatas dapat dimengerti bahwa perkembangan moral anak sangat dipengaruhi oleh
faktor lingkkungan sekitarnya,utamanya keluarganya yang setiap hari
berinteraksi dengan anak. Boleh jadi baik dan buruknya perkembangan moral anak
tergantung pada baik dan buruk moral keluarganya.
Agar
perkembangan moral keagamaan anak dapat berkembang dengan baik sebaiknya
keluarga utamanya ayah dan ibu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.
Konsisten
dalam mendidik
Ayah
dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang dan
membolehkan tingkah laku tertentu pada anak. Pada kenyataannya masih banyak
kita jumpai orang tua yang tidak kompak dalam mendidik anaknya,hal ini
disebabkan kurangnya pengetahuan orang tua dan juga dipengaruhi rasa ego.
Ketidakkompakan orang tua dalam mendidik anaknya berakibat kurang baik terhadap
moral anak,biasanya mereka bingung membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, patuh pada aturan bapak atau patuh
pada aturan ibu, dan lain sebaginya. Maka sebaiknya ayah dan ibu menyamakan
persepsi dalam memberikan didikan pada anak-anaknya.
2.
Sikap
orang tua dalam Keluarga
Sikap
orang tua dalam keluarga secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan moral
anak. Melalui proses peniruan (imitasi) mereka merekam sikap ayah pada ibu dan
sebaliknya,sikap orang tua pada tetangga-teangga sekitarnya akan dengan mudah
ditiru oleh anak. Sikap yang otoriter orang tua akan membuahkan sikap yang sama
apada anak. Sebaliknya sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah, dan
konsisten, juga akan membuahkan sikap yang sama pada anak, oleh karenanya
sebaiknya orang tua menberikan contoh (tauladan) moral yang baik pada
anak-anaknya, agar dimasa yang kan datang anak-anaknya menjadi orang yang
berguna.
3.
penghayatan
dan Pengamalan
Agama
yang dianut Orang tua berkewajiban menanamkan ajaran-ajaran agama yang
dianutnya kepada anak, baik berupa bimbingan-bimbingan maupun contoh
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan orang tua dalam
menjalankan moral keagamaan merupakan cara yang paling baik dalam menanamkan
moral keagamaan anak. Dengan perkembangan moral keagamaan yang baik pada anak
sudah barang tentu akan dipengaruhi terhadap budi pekerti atau tingkah laku
anak pada masa yang akan datang.
Disamping faktor
pengaruh keluarga, faktor lingkungan masyarakat dan pergaulan anak juga
mempengaruhi perkembangan moral keagamaan anak, pada perkembangannya terkadang
anak lebih percaya kepada teman dekatnya dari pada pada orang tuanya,terkadang
juga lebih mematuhi orang-orang yang dikaguminya seperti; gurunya,artis
favoritnya, dan sebagainya. Keluarga dengan moral keagamaan yang baik dan
lingkungan masyarakat yang baik, secara teoritis akan berpengaruh positif
terhadap perkembangan moral keagamaan yang baik pada anak.
DAFTAR
PUSTAKA
Asrori,
Muhammad, 2008. Psikologi Pembelajaran.
Bandung: CV. Wacana Prima.
Yusuf,
Syamsu. 2007. Perkembangan Peserta
Didik, Jakarta: RajaGrafindo.
Yuningsih. 2014. Menguatkan
kembali pendidikan keagamaan dan moral anak didik. Bandung : UIN Sunan
Gunung Djati Bandung
0 comments:
Post a Comment