Hukum Pidana di Indonesia


HUKUM PIDANA DI INDONESIA

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mandiri Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKN)
di UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Dosen:
Drs. H. Idad Suhada, M.Pd
H. Buchori Muslim, M.Ag








Penyusun :

Hadi Maulana Hamzah
(1152080033)
KELAS A SEMESTER 1 (GANJIL)
JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015



            KATA PENGANTAR


           Puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan  Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan  makalah ini yang diajukan sebagai salah satu tugas mandiri mata kuliah pendidikan kewarganegaraan (PKN) di UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
          Penulis sangat menyadari bahwa dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Pidana Di Indonesia” ini masih banyak kekurangan yang disebabkan terbatasnya ilmu yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, dengan hati yang lapang penulis menerima sebagai kritik dan saran yang membangun untuk menuju ke arah yang lebih baik.
         
                                                                                              Penulis,
       
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan ketentraman hidup bagi masyarakat. Oleh karena itulah, hukum mengenal adanya adagium ubi societes ibi justicia. Adagium ini muncul karena hukum ada karena adanya masyarakat dan hubungan antar individu dalam bermasyarakat. Hubungan antar individu dalam bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki sesuai kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk polis, makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon).[1]
Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum (rechtsbetrekkingen).[2] Maka untuk itulah dalam mengatur hubungan-hubungan hukum pada masyarakat diadakan suatu kodifikasi hukum yang mempunyai tujuan luhur yaitu menciptakan kepastian hukum dan mempertahankan nilai keadilan dari subtansi hukum tersebut. Sekalipun telah terkodifikasi, hukum tidaklah dapat statis karena hukum harus terus menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hukum publik karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan berlaku secara umum.
Seiring perkembangan zaman permasalahan di bidang hukum pun semakin hari semakin rumit dan kompleks. Khususnya lagi dalam hukum pidana yang mencita-citakan lahirnya sebuah kodifikasi baru pengganti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP saja) warisan kolonial yang telah terlalu jauh tertinggal oleh zaman. Patut dicatat, pembaharuan hukum pidana selalu menimbulkan pertentangan-pertentangan pendapat yang tidak hanya terjadi antara para ahli hukum saja melainkan juga melahirkan  pertentangan di tengah masyarakat. Pertentangan yang terjadi tidak hanya mencakup persolan pembaharuan hukum pidana (penal reform) nasional yang berkaitan dengan aturan umum dan rumusan deliknya namun juga mencakup kebijakan kriminal (criminal policy) yang merupakan persoalan yang tak kalah penting guna mencegah meluasnya perkembangan/kecendrungan kejahatan (crime trend).
Hukum pidana yang domainnya sebagai hukum publik membuat perkembangan hukum pidana selalu menjadi sorotan di tengah masyarakat. Contoh kecil yang dapat kita lihat ialah bagaimana respon masyarakat yang sangat antusias terhadap wacana penegasan ancaman pidana mati terhadap para koruptor.
Sebuah pro dan kontra atau pertentangan pendapat yang masih terus berlangsung dalam domein hukum pidana sebagaimana tersebut di atas ialah mengenai keberadaan lembaga pidana mati baik dalam kedudukan sebagai hukum positif maupun dalam upaya pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari hukuman (pidana). 
Penjatuhan pidana mati, tidaklah dijatuhkan kepada sembarangan orang melainkan khusus kepada pelaku kejahatan khusus (extraordinary crime), yang dianggap pelakunya telah memperlihatkan dari perbuatannya bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan hidup[3] (baca dipidana mati). Salah satu tokoh yang mendukung keberadaan  lembaga pidana mati di negeri ini ialah ialah R. Santoso Poedjosoebroto yang merupakan mantan wakil ketua Mahkamah Agung, berpendapat pidana mati itu adalah merupakan senjata pamungkas atau akhir dalam keadilan,[4] namun dalam penjatuhan pidana mati haruslah diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak si terpidana dan eksekusinya pun dilakukan dengan cara yang patut dan berprikemanusiaan.
Tidak dapat dipungkiri masih banyak ahli yang tak sependapat dengan hal tersebut, namun keberadaan lembaga pidana mati haruslah dihargai dalam kedudukannya sebagai suatu bagian dari hukum pidana positif Indonesia. Selain Sahetapy, masih banyak ahli yang menentang atau kontra terhadap eksistensi lembaga pidana mati (namun tidak sepenuhnya menentang konsep pidana mati yang tertuang RKUHP) di Indonesia yang salah satunya adalah  Sudarto yang berpendapat :

Hilangnya nyawa berarti hilangnya manusia itu sendiri. Adakah alasan yang cukup kuat untuk menghilangkan nyawa manusia itu sendiri ? Kekeliruan dari pengadilan selalu dapat terjadi, dan kalau hal ini terjadi dalam penjatuhan hukuman mati, maka tidak ada kemungkinan lain sama sekali untuk memperbaiki. Manfaat dari pidana ini sangat diragukan.[5]

Mengutip apa yang dituliskan oleh Bung Karno,  zaman akan menjadi hakim dan zaman akan menentukan siapa yang benar.[6] Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Bung Karno dan menurut penulis saat (zaman) inilah bangsa ini harus menjawab permasalahan “kumulasi pidana” tersebut.

1.2   Rumusan Masalah
  Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah Tujuan Pemidanaan Indonesia?
  2. Bagaimana Pengaturan Tentang Pidana Penjara dan Pidana Mati ?
  3. Bagaimanakah Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia?

1.3  Tujuan Makalah
Tujuan yang ingin dicapai  dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mendeskripsikan Bagaimanakah Tujuan Pemidanaan Indonesia.
2.      Mendeskripsikan Bagaimana Pengaturan Tentang Pidana Penjara dan Pidana Mati .
3.      Mendeskripsikan Bagaimanakah Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Tujuan Pemidanaan
Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana dan alasan-alasan pembenar (justification) dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak penjatuhan pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta pelaksanaannya tersebut berada penuh di tangan negara dalam realitasnya sebagai roh.
Patut diketahui, bahwa tidaklah semua filsuf ataupun pakar hukum pidana sepakat  bahwa negaralah yang mempunyai hak untuk melakukan pemidanaan (subjectief strafrech). Hal ini dapat terlihat jelas pada pendapat Hezewinkel-Suringa yang mengingkari sama sekali hak mempidana ini dengan mengutarakan keyakinan mereka bahwa si penjahat tidaklah boleh dilawan dan bahwa musuh tidaklah boleh dibenci.[7] Pendapat ini dapat digolongkan sebagai bentuk negativisme, dimana  para ahli yang sependapat dengan Suringa tersebut menyatakan hak menjatuhkan pidana sepenuhnya menjadi hak mutlak dari Tuhan.
Negativisme yang dimaksud di atas, penulis anggap sebagai bentuk penegakan hukum secara utopis di masa sekarang ini, dikarenakan penegakan hukum agama menganggap Negara adalah perpanjangan tangan Tuhan di dunia. Sementara itu, dewasa ini cenderung untuk mengkotomikan antara konsep-konsep sistem pemerintahan dan penegakan hukum dengan ajaran-ajaran agama tertentu. Bagi kalangan religius hal ini dianggap menuju arah paham sekularisme (walaupun tidak secara absolut), namun hal ini semakin hari-hari semakin banyak dipraktekkan pada banyak Negara pada sistem ketatanegaraan yang berimplikasi pada bentuk hukum pidana positif. Hal ini dapat terlihat jelas pada Negara kita dengan tidak diberlakukannya hukum agama secara mutlak dalam hukum nasional kita (faktor kemajemukan sosial) dan juga pada Negara-negara lainya.
Jadi, dapatlah kita berpedoman pada mazhab wiena yang menyatakan hukum dan negara adalah identik, karena adalah tak lain daripada satu susunan tingkah laku manusia dan satu ketertiban paksaan kemasyarakatan.[8]
Kembali berbicara mengenai tujuan pemidanaan, bahwa pada prinsipnya  tujuan tersebut termaktub dalam berbagai teori pemidanaan yang lazim dipergunakan. Secara garis besar, teori pemidanaan terbagi dua dan dari penggabungan kedua teori pemidanaan tersebut lahir satu teori pemidanaan lainnya. Adapun tiga teori pemidanaan  yang dijadikan alasan pembenar penjatuhan pidana :
1.         Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).
2.         Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien).
3.         Teori gabungan (verenigingstheorien).
Menurut, Wirjono Prodjodikoro, bagi pembentuk undang-undang hukum pidana, bagi para jaksa dan hakim tidak perlu memilih salah satu dari ketiga macam teori hukum pidana tersebut dalam menunaikan tugas.[9] Penulis dalam hal ini secara tegas menyatakan sepakat dengan apa yang disampaikan Wirjono Prodjodikoro dikarenakan nilai-nilai keadilan bukanlah didasarkan dari teori apa yang dianut melainkan berdasarkan unsur humanis yang berkenaan dengan kondisi masyarakat dan si pembuat (penjahat) yang diproses melalui perpaduan logika dan hati yang terlahir dalam sebuah nurani.

2.2  Pidana Penjara dan Pidana Mati di Indonesia
Pidana mati dan pidana penjara merupakan bagian dari jenis-jenis pidana yang berlaku berdasarkan hukum pidana positif Indonesia. Sebagaimana diketahui kedua bentuk pidana tidaklah dapat dikumulasikan. Hanya saja dalam tataran das sein hal ini sering terjadi terhadap terpidana mati. Oleh karena keganjilan tersebut penulis akan mencoba menguraikan pidana mati dan pidana penjara secara terpisah serta korelasi kedua jenis pidana dalam permasalahan pidana mati guna mempermudah memahami hasil penelitian penulis yang akan diuraikan pada bab berikutnya.
2.2.1                    Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan jenis hukuman yang berdasarkan pelakasanaannya mempunyai kemiripan pelaksanaan pidana kurungan. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Satochid Kartanegara yang menyatakan kedua bentuk hukuman ini sama-sama dilakukan dengan cara merampas kemerdekaan orang-orang yang melanggar undang-undang. Hanya saja, pada pidana kurungan si narapidana mempunyai beberapa hak istimewa yang tidak dipunyai oleh narapidana hukuman penjara dan begitu juga sebaliknya. Adapun hak yang tidak dimiliki oleh narapidana hukuman penjara ialah hak pistole, sebaliknya narapidana pidana kurungan tidak berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
Berdasarkan sejarah, pelaksanaan pidana penjara sebagai bentuk hukuman yang merampas kemerdekaan barulah dikenal pada awal abad ke-18. Pada saat itu pidana pejara lahir sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana.[10] Indonesia sendiri mengenal pidana penjara secara normatif sejak diberlakukan berdasarkan ordonantie10 Desember 1917 Staatsblad tahun 1917 No. 708 yang dikenal dengan Gestichtenreglement[11] yang berinduk pada WvS.
Pada saat ini, pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan dan berbagai peraturan dibawahnya. Dalam hal itu, pelaksanaan pidana penjara disesuaikan dengan fungi pokok Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat narapidana dibina selama menjalani pidana yang dijatuhkan padanya dan dalam hal ini narapidana juga dikategorikan sebagai warga binaan Lembaga Pemasyarakata. Adapun fungsi pokok Lembaga Pemasyarakatan yaitu membina serta mempersiapkan para narapidana supaya dapat hidup bermasyarakat tanpa menggangu dan merugikan anggota masyarakat yang lain.[12]
Berdasarkan pasal 12 ayat (1) KUHP, pidana penjara dibagi menjadi dua yaitu seumur hidup dan selama waktu tertentu. Dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga sudut terpidana, pidana seumur hidup bersifat pasti (definite sentence) karena si terpidana dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite periode of time), yaitu menjalani pidana sepanjang hidup di dunia ini[13]. Selain itu, pidana seumur hidup juga dianggap sebagai bentuk hukuman yang berlebihan bagi beberapa ahli hukum dan masyarakat pemerhati hak asasi manusia. Bahkan ada pendapat seorang terpidana mati (Doris Ann Foster) di salah satu Negara bagian Amerika Serikat yang secara frontal menolak pidana penjara seumur hidup. Ia menyatakan, bahwa ia hanya mau mati atau dibebaskan (lebih baik mati dari pada pidana seumur hidup. I want to die or to be free, katanya.[14]
Pada pidana penjara selama waktu tertentu ukuran pemidanaan (strafmaat) paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. Pidana penjara selama waktu tertentu dapat pula dijatuhkan dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang diancam dengan pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau apabila terdapat perbarengan (concursus), pengulangan (recidive) ataupun ditentukan lain oleh aturan perundang-undangan di luar KUHP.
Selain pidana penjara seumur hidup, bentuk pidana penjara selama waktu tertentu berdasarkan fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang telah melahirakan suatu sistem pembinaan.[15]
Berdasarkan penjelasan di atas, timbullah kontradiksi yang mencolok antara pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu berdasarkan aspek tujuan pemidanaan. Dalam hal ini, Barda Nawawi arief berpendapat :
Mengingat sifat/karakterisitik pidana seumur hidup yang demikian, maka sebenarnya ada kontradiksi ide antara pidana seumur hidup dengan sistem pemasyarakatan ini. Pidana penjara seumur hidup lebih berorientasi pad aide perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara denagn sistem pemasyarakatan  lebih berorientasi pada ide perlindungan/pembinaan dan perbaikan (rehabilitasi) si terpidana untuk dikembalikan kepada masyarakat.[16]

2.2.2                    Pidana Mati
Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini  juga merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.[17]
Berdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru di Indonesia. Pidana ini telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktkan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau huum para raja dahulu, umpamanya :
a.       mencuri dihukum potong tangan ;
b.      pidana mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari badan (sayab), kepala ditumbuk (sroh), dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar (tanjir), dan sebagainya.[18]

Pelaksanaan eksekusi mati di wilayah Indonesia tidak hanya terpatok pada keterangan di atas. Misalnya, di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan dengan lembing, di Bali dapat dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke laut,sedangkan pada suku batak dilaksanakan dengan sistem alternatif dimana apabila pembunuh tidak membayar uang salah maka eksekusi bisa dilaksanakan, dan berbagai macam jenis-jenis eksekusi mati lainnya. Dengan memperhatikan kebiasaaan (adat) dan hukum adat dari Aceh sampai Irian memperlihatkan kepada kita pidana mati dikenal oleh semua suku di Indonesia. Hingga penulis menarik kesimpulan bahwa bukan Belanda lah yang memperkenalkan pidana mati pada bangsa ini.
Penerapan hukum pidana oleh pemerintah Belanda di wilayah Indonesia diberlakukan berdasarkan  pemberlakuan “Wet boek van Strafrecht” yang mulai berlaku pada 1 Januari 1918. Pada ketentuan ini, pidana mati ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana pokok yang tertuang dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan dengan hukuman gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP. Kemudian dengan Staatsblad 1945 Nomor123 yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda, pidana mati dijatuhkan dengan cara ditembak mati. Hal ini diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara menembak mati terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala Kejaksaan Negeri) sebagai eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan eksekusi dilakukan oleh regu tembak kepolisian.
Patut diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati haruslah dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya berkekuatan hukum tetap dan kepada si terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden. Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat executie (persetujuan Presiden).
Maka jelaslah disini bahwa pidana mati pada dasarnya dan seharusnya dijadikan sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap orang-orang yang tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan membahayakan kehidupan masyarakat luas bahkan negara sekalipun 
Mengenai korelasi pidana penjara secara normatif tidak ada kaitanya sama sekali, hanya saja pidana mati dipergunakan sebagai sarana bagi Negara untuk merampas kemerdekaan terpidana menjelang dilaksanakan eksekusi agar ia tidak melarikan diri. Berdasarkan hal tersebut, timbulah permasalahan dimana sarana pidana penjara seolah dijatuhkan Negara sebagai bentuk  hukuman tambahan terhadap terpidana mati. Dikatakan demikian karena kecendrungan yang terjadi di negeri kita pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Maka di Negara ini seolah-olah sebagian besar terpidana mati menjalani dua bentuk hukuman sekaligus, yaitu dengan diawali pidana penjara terlebih dahulu, lalu barulah dilaksanakan pidana yang sesungguhnya dijatuhkan padanya yaitu pidana mati.
Permasalahan ini menyebabkan semakin kompleksnya problematika pada pidana mati. Kini topik pemberitaan seolah-olah bergeser menyangkut problematika penundaan eksekusi pidana mati.[19] Oleh beberapa alasan yang penulis sebutkan tersebutlah suatu pro dan kontra terhadap eksistensi mengenai lembaga pidana mati.

2.3  Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia
Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut  tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.
Kecendrungan para ahli yang setuju pidana mati tetap dipertahankan eksistensinya, umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu kebutuhan pidana mati sangat dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan umum atau negara dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra terhadap pidana mati lazimnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan hakim
Selanjutnya, penulis akan menguraikan berbagai alasan dan para ahli yang pro (mendukung) maupun kontra terhadap pidana mati, serta pandangan penulis mengenai eksistensi lembaga pidana mati.
Adapun beberapa ahli maupun tokoh yang mendukung eksistensi pidana mati ialah Jonkers, Lambroso, Garofalo, Hazewinkel Suringa, Van Hanttum, Barda Namawi Arief, Oemar Senoadji, dan T.B Simatupang.
Jonkers mendukung pidana mati dengan pendapatnya bahwa “alasan pidana tidak dapat  ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan”  bukanlah alasan yang dapat diterima untuk menyatakan ”pidana mati tak dapat diterima. Sebab di pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan yang benar.”[20]
 Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.[21] Individu itu tentunya adalah orang-orang yang melakukan kejahatan yang luar biasa serius (extraordinary crime)
Pada kesempatan lain, Suringa berpendapat pidana mati merupakan suatu bentuk hukuman yang sangat dibutuhkan dalam suatu masa tertentu terutama dalam hal transisi kekuasaan yang beralih dalam waktu yang singkat. Penulis bergumen seperti itu didasarkan pendapat  Suringa yang menyatakan bahwa pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita cepat dapat mempergunakanya.[22]
Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks pembaharuan KUHP Nasional. Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan :
“bahwa walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dan berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana).[23]

Hal yang disampaikan Barda ini hampir senada dengan apa yang pernah disampaikan oleh seorang jenderal purnawirawan dan tokoh gereja di Indonesia yang pada dasarnya sepakat apabila lembaga pidana mati dihapuskan keberadaannya di Indonesia, namun dengan pertimbangan lain ia juga secara tegas menyatakan pidana mati masih harus dipertahnkan dikarenakan hukuman tersebut adalah alat untuk menjaga ketentraman masyarakat. Hukuman mati harus dibicarakan dari segi kepentingan masyarakat.[24]
Bahkan Marjono Reksodiputro yang juga seorang tokoh pembaharuan hukum pidana nasional mendukung keberadaan lembaga pidana mati dengan membantah hipotesa yang meragukan efektivitas pidana mati melalui penndapatnya yang menyatakan hubungan ancaman hukuman mati dengan mengurangi kejahatan atau tindak kejahatan sangat hipotetical. Kurang bisa dibuktikan, tetapi bukan berarti bahwa tidak dapat mengurangi. Orang yang mengatakan hapuskan hukuman matipun tidak dapat membuktikan bahwa pidana mati itu tidak efektif.[25]
Berdasarkan pendapat Andi Hamzah dan A. Sumangelipu dinyatakan secara tegas pidana mati sama sekali tidaklah bertentangan dengan Pancasila. Hal ini tergambar dari bab empat (Pidana Mati dalam Pancasila) buku mereka yang berjudul “Pidana mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan” yang menggambarkan secara terperinci bahwa tidakaada di antara keseluruhan sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan keberadaan pidana mati di negara Indonesia.
Selanjutnya, inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya telah terjawab dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang diajukan oleh empat terpidana mati kasus narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas pidana mati yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa ancaman pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat ditrik sebuah kesimpulan bahwa pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional.
Untuk memperkuat argumen di atas, maka alangkah baiknya penulis memperkuatnya dengan menyajikan bunyi dari Konklusi dari Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan tersebut, yang menyatakan :
Ketentuan Pasal 80 Ayat (1) huruf a, Ayat (2) huruf (a), Ayat (3) huruf a; Pasal 81 Ayat (3) huruf (a); Pasal 82 Ayat (1) huruf  a, Ayat 2 (huruf) a dan Ayat (3) huruf a dalam UU Narkotika, sepanjang yang mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentatangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.[26]

Berdasarkan keterangan tersebut, sebenarnya dapatlah secara jelas bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan Konstitusi Negara kita dan masih layak dipertahankan keberadaannyanya dalam hukum pidana positif. Hanya saja berdasarkan putusan tersebut pembaharuan hukum pidana yang berkaitan dengan pidana mati hendaknya untuk ke depan memperhatikan sungguh-sungguh hal sebagai berikut :
a.       pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
b.      pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan penjara seumur hidup atau selama 20 puluh tahun;
c.       pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d.      eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuanhamil tersebut melahirkan dan terpidana mati yang sakit jiwa tersebut sembuh.[27]

Jadi, berdasarkan uraian pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa para pendukung pidana mati pada zaman modern ini semata-mata menjadikan pidana mati sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk preventif maupun represif. Represif di sini bukanlah menjadikan mereka yang diperintah  menjadi rentan dan lemah[28] layaknya kekuasaan otoriter yang menjadikan pidana mati sebagai alat untuk menyingkirkan orang-orang yang bersebrangan dengan penguasa. Selain itu, dalam perumusan KUHP Nasional yang baru, dalam hal pidana mati haruslah memperhatikan buni putusan di atas.
Demikian sebaliknya, para ahli dan tokoh yang kontra terhadap pidana mati pun tidaklah sedikit dan menyandarkan argumennya pada sebuah landasan berpikir yang ilmiah. Seorang tokoh aliran klasik yang sangat terkenal karena kevokalannya menetang pidana mati ialah seorang berkebangsaan Italia yang bernama Beccaria. Alasan Beccaria menentang pidana mati ialah proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk sekali[29] terhadap seseorang yang dituduh membunuh anaknya sendiri (beberapa waktu setelah eksekusi dapat dibuktikan bahwa putusan tersebut salah).
Setelah keharuman nama Beccaria tenggelam, maka muncullah nama-nama tokoh dan ahli yang menentang pidana mati. Adapun nama-nama tersebut adalah Ferri, Leo Polak,  Modderman dan tokoh lainnya, sedangkan di Indonesia tokoh yang sanat vokal menentang pidana mati ialah Roeslan Saleh, J.E. Sahetapy, dan Todung Mulia Lubis yang semenjak muda telah terang-terangan menolak keberadaan pidana mati sedari muda (serta tokoh dan ahli lainnya yang tidak penulis sebutkan secara satu persatu).
Ferri yang juga seorang berkbangsaan Italia dalam hal menentang pidana mati berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk kejahatan cukup dengan pidana penjara seumur hidup, tidak perlu dengan pidana mati.[30]
Apa yang disampaikan Ferri tidak jauh berbeda dengan yang diampaikan krminolog Oxvord, Roger Hood yang menggunakan anaalisis efek jera pidana mati dan penjara seumur hidup. Adapun pendapatnya adalah gegabah bila kita menerima hipotesis bahwa hukuman mati atas pembunuhan menghasilkan efek jera yang jauh lebih besar daripada yang dihasilkan oleh hukuman yang diangap lebih ringan, yakni hukuman penjara seumur hidup.[31]
Menurut penulis jelas pendapat Ferri maupun Roger Hood bertentatangan dengan apa yang telah disampaikan Foster (terpidana mati) yang lebih memilih mati dibandingkan dipidana penjara seumur hidupnya. Jelas, hal ini melahirkan kontradiksi sikap batin yang sangat mencolok yang menurut penulis melahirkan pendapat yang apriori dikarenakan sikap batin pada setiap orang adalah relatif.
Pendapat lainya yang disampaikan oleh Modderman menggunakan analogi dalam menolak adanya pidana mati :
Tokoh saudara-saudara masih mendirikan kebun-kebun binatang di mana dikumpulkan binatang-binatang buas, yang juga tidaklah mustahil dapat meloloskan diri dari kekurangan-kekurangannya dan mengacau keamanan masyarakat. Saya akan lebih takut andaikata tiba-tiba kepergok dengan binatang buas demikian, daripada kepergok denagn penjahat penjahat yang dimaksudkan di atas.[32]

Pendapat ini sungguh kontras dengan yang terjadi di Indonesia, dikarenakan beberapa tahun setelah pendapat Modderman disepakati mengenai penghapusan pidana mati, di Indonesia malah diberlakukan pidana mati. Berdasarkan perbandingan hukum pidana dapat kita simak pendapat Andi Hamzah, sebagaimana terurai berikut :
Di dalam KUHP Indonesia tercantum pidana mati, sedangklan di Belanda sejak tahun 1870 sudah dihapus. Alasannya, ialah keadaan di Indonesia berbeda dengan Belanda, ribuan pulau-pulau, beraneka ragam suku bangsa, tenaga kepolisian kurang mencukupi, jadi perlu pidana yang lebih berat. Dengan sendirinyap pasal-pasal yang berkaitan dengan pidana mati seperti pasal 6 dan pasal 11 (pelaksanaan pidana mati) terdapat dalam WvSI (KUHP) tetapi tentu tidak ada dalam Ned. WvS.[33]
Secara historis dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa ketidak konsistenan Belanda dalam penolakan terhadap pidana mati sesungguhnya didasakan pada konsep tirani untuk mempertahankan kekuasaan di negeri jajahan Indonesia. 
Sebuah kisah yag menarik dalam kontroversi pidana mati dapat juga kita rasakan dari rasa pertobatan seorang terpidana mati. Hal ini dapat penulis perlihatkan melalui penggalan surat dari seorang terpidana mati tertanggal 3 februari 1967 berikut ini :
Dear Rev. Khoo.  So forgive me for this. My farewell letter being so brief, and I fear incoherent. Do you remember the day you first saw me here, how I kept repeating to you ‘I am an  atheist’ almost with pride ? But as I watched you come here so often, spending so much of your time and giving so much yourself to the Pulau Senang boys and the rest of us, expecting and receiving nothing in return, I asked myself, “What is the motivates this man such  altruistic acts ? Is there really a God as he so undoubtedly believes ?” But one day – 17th of December 1965 – apparent reason I was over whwlmed by desire to kneel down in prayer and pour out my heart to God, surrendering my self to him and admitting to Him that revenge was in my heart. He listen and understood and as I got to know Him better trought the succeeding days and weeks, He told me that I should be above revenge and hate, that only love and understanding should occupy my thoughts and guide my action. Thro yoi I found Christ and thro him I shall find the kingdom of heaven. Till then, fare thee well. Yours in Christ, Sd. Sunny Ang.[34]

Secara jujur penulis sangat tersentuh dengan penggalan surat ini, namun patut diketahui Tuhan juga menciptakan suatu hukuman bagi umatnya yang berbuat salah dan begitu jugalah hal ini terjadi dalam realitas kehidupan bernegara. Bila dibedah melalui pisau religius, sebenarnya keberadaan pidana mati di sini membawa sebuah anugerah kepada Ang, dengan hukuman tersebut mengenal Tuhan secara lebih dalam terlepaskan dari belenggu ateisme.
Berkaitan dengan keberadaan pidana mati dalam korelasinya dengan Pancasila, Sahetapy memiliki pendapat yang berbeda dengan Andi Hamzah dan A. Sumangelipu. Sahetapy dalam skripsinya (telah dipublikasikan) menjelaskan[35] bahwa pidana mati bertentangan dengan norma dasar Negara ini yaitu Pancasila. Hal ini disandarkan pada pasal 95 ayat (2), walaupun pada saat itu telah didekritkan kembali pada UUD 1945 (namun patut diketahui bahwa UUDS juga dlahirkan dari Pancasila). Selain bersandarkan alasan tersebut, Sahetapy juga menyatakan bahwa pidana mati merupan warisan kolonial yang tidaklah pantas untuk dilanjutkan (sebagaimana diterangkan di atas).
 Pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan konstitusi terdapat empat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstituisi. Hakim-hakim tersebut adalah Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Dalam hal ini penulis sedikit menyampaikan alasan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati. :
Bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan hak itu dapat dilakukan dengan menghilangkan hidup itu sendiri, meskipun diakui dan telah menjadi bagian dari hak asasi orang lain yang harus pula dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi karena hukum membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.

Jelas pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menitikberatkan pada konsep hak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan perkembangan penolakan terhadap pidana mati dewasa ini (masa sebelumnya penolakan pidana mati ditekankan atas pelaksanaan eksekusi yang kejam dan efektivitas pidana mati tersebut).
Maka jelaslah, permasalahan pro dan kontra terhadap pidana mati merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah untuk digeneralisirkan dalam satu pola pikir yang sama pada setiap orang.
Kontroversi penolakan (kontra) terhadap eksistensi lembaga pidana mati membawa sebuah ekses yang sangat luar biasa dahsyatnya, dimana banyak Negara yang menghapuskan jenis pidana ini pada hukum pidana positif negaranya. Berdasarkan data Amnesty International (2006) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 129 negara yang telah menghapuskan pidana mati (death penalty) dari ketentuan hukum pidana positifnya. Dari data tersebut, 88 negara menghapus hukuman mati secara total, 11 negara memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang (war time), dan 30 negara masih mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi melaksanakannya dalam praktik.
Sebagai contoh Negara Belanda yang menghapuskan pidana mati pada ketentuan hukum pidananya masih mencantumkan pidana mati pada Kitab Undang-Undang  Hukum Pidana Militer Negara tersebut. Hanya saja penjatuhan hukuman tersebut hanya dapat dilakukan, apabila hakim berpendapat bahwa keamanan dari negara itu menghendakinya demikian (pasal 9).[36] Selain itu, Negara tetangganya Belgia mencantumkan pidana mati di dalam KUHP sipilnya, diamana ketentuan tersebut tidak pernah lagi dilaksanakan lagi dalam prakteknya.
Sementara itu, masih ada 68 negara yang sampai kini masih konsisten mempertahnkan pidana mati pada ketentuan hukum pidana nasionalnya. Dimana Indonesia adalah salah satu dari negara tersebut.
Untuk menutup bab ini, penulis akan  menguraikan pendapat pribadi mengenai pidana mati. Pada dasarnya, penulis tidaklah sepakat dengan keberadaan pidana mati dalam konteks hukum pidana nasional ataupun secara global, namun secara rasional dengan memperhatikan kebutuhan pada saat ini maupun ke depan, penulis menyadari pidana mati masih dibutuhkan sebagai suatu alat untuk melindungi masyarakat. Perlunya pidana mati dipertahankan menurut penulis berdasarkan tiga alasan. Pertama, masalah keadilan dan kepastian hukum. Apabila pidana mati dihapuskan dan kemudian diadakan kembali dengan mengenyampingkan asas non retroaktif, lebih patut dipertanyakan dimana keadilan yang seharusnya menjadi satu dalam bentuk kepastian hukum. Ini dikarenakan suatu keadaan ke depan tidaklah dapat diprediksi dan ditafsirkan secara mutlak dengan mengadakan pengandaian-pengandaian yang apriori. Maka, lebih baik pidana mati tetap dipertahankan dengan catatan hanya ditujukan kepada pelaku kejahatan yang luar biasa serius (extraordinary crime).
Kedua, masalah kebudayaan. Tidaklah dapat disangkal bahwa Negara kita yang multi cultural ini mengenal pidana mati dalam berbagai peraturan adat semenjak zaman kerajaan dahulu (sebelum terbentuknya Negara Indonesia). Untuk memperkuat pendapat ini, maka penulis menyandarkannya pada pendapat Von Savigny yang menyatakan hukum adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act of a legislator), tetapi dibangun dan dapat ditemukan dalam jiwa masyarakat.
Ketiga, unsur religius. Memperhatikan norma dasar Negara kita yang memperlihatkan bahwa bangsa ini ialah bangsa yang cinta dan takut akan Tuhan yang berarti tidaklah dapat kita sangkal secara religius, agama mengakui hukuman sebagai akibat dari sebuah tingkah laku yang jahat. Sebagai contoh, Islam mengenal hukuman mati (qishas) sebagai bentuk hukuman terhadap jarimah yang mutlak telah digariskan oleh ALLAH dan hanya dapat hapus apabila keluarga korban memberi maaf dan barulah dapat diberlakukansemacam ganti rugi (diyat).

























BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut  tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.
Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini  juga merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.
















DAFTAR PUSTAKA
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
L.J. van Apeldoorn, pengantar Ilmu hukum, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta, 2000
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005
Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008
Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian I, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2008.
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988.
Dalil Adisubroto, Pembinaan Narapidana sebagai Sarana Merealisasikan Tujuan Pidana Lembaga Pemasyarakatan (Disampaikan dalam Seminar Nasional Tentang Pemasyarakatan : Pengintegrasian Tujuan Pemidanaan dengan Sistem Pemasyarakatan Mendatang. Fakultas Hukum UII 24 Juli 1995
A. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), Rajawali Pers, Jakarta, 2005.
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politea, Bogor
J.E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Philip Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif,  Nusamedia, Bandung, 2007.
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.      
P.AF. Lamintang & D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek Van Het Nederlanches Strafrecht), Pionir Jaya, Bandung, 1992.



[1] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 73.
[2] L.J. van Apeldoorn, pengantar Ilmu hukum, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta, 2000, hlm. 6.
[3] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 105.
[4] Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal 57.

[6] Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964, hlm. 521.
[7] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 23.
[8] Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian I, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, hlm. 67.
[9] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 29.
[10] Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 88.
[11] Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 61.
[12] Dalil Adisubroto, Pembinaan Narapidana sebagai Sarana Merealisasikan Tujuan Pidana Lembaga Pemasyarakatan (Disampaikan dalam Seminar Nasional Tentang Pemasyarakatan : Pengintegrasian Tujuan Pemidanaan dengan Sistem Pemasyarakatan Mendatang. Fakultas Hukum UII 24 Juli 1995.
[13] Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006,hlm. 1.
[14] A. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 74.
[15] Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006,hlm. 3.
[16] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 238.
[17] R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hlm. 187.
[18] R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politea, Bogor,hlm 14.
[19] J.E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007,hlm 75.
[20] A. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985,hlm 25 & 26.
[21] Ibid., hlm.27
[22] Ibid., hlm.27
[23] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,  hlm 89.
[24] A. Hamzah & A. Sumangelipu, Op.cit.,  hlm 35.
[26] Putusan Mahkamah Konstitusi
[27] Putusan Mahkamah Konstistusi
[28] Philip Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif,  Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 33.
[29] A. Hamzah & A. Sumangelipu, Op.cit.,  hlm 37.
[30] Ibid., hlm. 38.
[31] Todung mulia Lubis & Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Kompas Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 106.
[32] A. Hamzah & A. Sumangelipu, Op.cit.,  hlm. 42
[33] Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 11.
[34] Sahetapy, Op.cit.,  hlm 123 & 124.
[35] Sahetapy, Op.cit.,  hlm 14.
[36] P.AF. Lamintang & D. Simons, Op.cit.,  hlm 392.





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment