Filsafat Menurut Al Farabi

FILSAFAT MENURUTAL-FARABI
Makalah
Dalam rangka melengkapi tugas mata kuliah Filsafat dan Sejarah Kimia
Dosen
Ferli Septi Irwansyah, M.Si
Saepudin Rahmatullah, M. Si


Oleh
Hadi Maulana Hamzah
(1152080033)


PRODI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS TARBIYYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
TAHUN 2016

Kata pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Filsafat menurut al-Farabi”  
            Makalah ini berisi tentang informasi bagaimana kita mengetahui ilmu tentang filsafat, khususnya membahas Tentang Pengetahuan biografi al-farabi dan dasar-dasar pemikiran filsafat menurut Al-Farabi, sampai kepada metafisika dalam pemikiran al-farabi, filsafat Negara. Diharapkan makalah ini bisa menambah wawasan/informasi kepada kita semua tentang filsafat merurut al-farabi supaya pengetahuan tentang filsafat kita menambah luas dan dapat memahami filsafat menurut al-farabi.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari seluruh pihak yang membangun selalu kami harapkan agar demi kesempurnaan makalah ini.
            Akhir kata kami sampaikan kepada semua pihak serta dalam menyusun makalah ini dari awal sampai akhir, semoga Allah SWT meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Bandung, 2 Februari, 2016

                                                       
                                      Penulis


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Dalam masa reformasi dan era perkembangan pendidikan pada saat ini adalah merupakan suatu yang harus direnungkan, kita pikirkan dan kita manfaatkan sebaik mungkin, sehingga sebagian kekurangan-kekurangan yang ada terutama pada generasi penerus sebagai tonggak estafet perjuangan, yang sedikit banyak harus tahu tentang karya-karya dan pemikiran orang terdahulu seberapa jauh kemenangan dan kemajuan pemegang estafet sebelumnya. Sehingga dapat mempertimbangkan apa yang akan dilaksanakan di masa yang akan datang.
Kita tahu, sudah banyak gagasan-gagasan serta penemuan baru yang dahulu telah dirintis oleh pemikir-pemikir muslim tetapi kini sudah tidak dilanjutkan lagi bahkan tidak dikenal dan sebaliknya tidak sedikit yang kita jumpaidi lapangan generasi masa kini yang membanggakan dengan mengabaikan tugas generasi penerus seakan-akan dengan menyebut kebesaran masa lalu, islam dapat maju dengan sendirinya.
Filsafat Yunani. Filsafat Yunani mempunyai pengaruh yang jauh jangkauannya dalam pemikiran Muslim, karena Yunani telah menghasilkan kontribusi terpenting bagi filsafat dalam zaman kuno, dan kaum muslim mencurahkan lebih banyak waktu dan energi untuk menerjemahkan dan mempelajari para penulis Yunani. Tetapi umat Muslim tidak memulainya dengan para Platonis atau Aristotelian. Filsafat Yunani sampai kepada umat Muslim bukan sebagai sebuah kekuatan hidup. Ia telah menemukan jalur-jalur baru ke dunia berbahasa Arab. Pada tahap-tahap awal studinya, umat Muslim mengembangkan filsafat tersebut dalam bentuk seperti tatkala mereka menerimanya.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Biografi Al-Farabi?
2.      Apa Dasar Pemikiran Filsafat Menurut al-Farabi?
3.      Apa metafisika dalam pemikiran al-farabi?
4.      Apa hubungan Al-Farabi dan filsafat?
5.      Apa dasar Al-farabi dan filsafat negara?

C.     TUJUAN MAKALAH
1.      Untuk mengetahui biografi Al-Farabi.
2.      Untuk mengetahui dasar pemikiran filsafat menurut Al-Farabi.
3.      Untuk mengetahui metafisika dalam pemikiran Al-Farabi.
4.      Untuk mengetahui hubungan Al-Farabi dan Filsafat.
5.      Untuk mengetahui dasar Al-Farabi dan filsafat Negara.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Al-Farabi
Abu Nashr Muhamad ibn Muhamad ibn Tarkhan ibn Al-Uzalagh, terkenal dengan nama al-Mu’allim al-Sani (guru kedua) setelah Aristoteles sebagai al-Mu’allim al_awwal (guru pertama). Di barat dikenal dengan nama Alpharbius. Al-Farabi lahir di Wasij di Distrik Farab (yang juga dikenal dengan nama Utrar) di Transoxiania, sekitar 870 M, dan wafat di Damaskus pada 950 M. Selain sorang filosof ia juga dikenal sebagai ahli dalam bidang logika, matematika dan pengobatan.
Latar belakang keluarga Al-Farabi adalah ayahnya seorang opsir tentara keturunan Persia yang mengabdi kepada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah. Barangkali saja bahwa masuknya keluarga ini ke dalam islam, terjadi pada masa hidup kakeknya Tarkhan. Peristiwa ini kira-kira bersamaan dengan peristiwa penaklukan dan islamisasi atas Farab oleh Dinasli Samaniyyah pada 839-840.(Mahdi, Muhsin, “Al-Farabi”, Dictionary of Scientific Biography, ed. C. C. Ollispie, New York: 1971, h. 532.) barangkali Al-Farabi berbicara bahasa Soghdian, sebuah dialek Persia lama, atau juga dialek Turki di rumah, dan bahwa keluarganya menjunjung tinggi adat-istiadat Turki.
Al-Farabi belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhara. Sebelum diciptakannya sistem madrasah di bawah Seljuq, pengajaran di lakukan di rumah-rumah atau di masjid. Di berbagai istana memiliki perpustakaan yang di dalamnya terdapat ilmu-ilmu Islam seprti tafsir, hadits, dan fiqh, serta ushul (prinsip-prinsip dan sumber agama), dan studi tambahannya seperti bahasa Arab dan kesusastraan.
Setelah mendapatkan pendidikan awal, Al-Farabi kemudian pergi ke Marw. Di Marw inilah Al-Farabi belajar logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna ibn Hailan.
Pada masa kekhalifahan Al-Mu’tadid (892-902 M), baik Yuhanna ibn Hailan maupun Al-Farabi pergi ke Baghdad. Setelah itu Al-Farabi lebih unggul dalam perkara logika. Al-Farabi selanjutnya memberikan banyak sumbangsihnya dalam penempaan sebuah bahasa filsafat baru dalam bahasa Arab, meskipun menyadari perbedaan antara tata bahasa Yunani dan Arab.
Pada kekhalifahan Al-Muktafi (902-908 M), atau pada awal-awal tahun kekhalifahan Al-Muqtadir (908-932 M), Al-Farabi dan ibn Hailan meninggalkan Baghdad, semula menurut ibn Khallikan menuju Harran.
Dari Baghdad Al-Farabi pergi ke Konstantinopel. Di Konstantinopel ini, menurut suatu sumber, dia tinggal selama delapan tahun, mempelajari seluruh silabus filsafat.
Karya-karya Al-Farabi meliputi:
·         Komentar dari Organon Aristoteles
·         Filsafat Alam
·         Komentar atas karya Phytagorasdan Ptolemeus
·         Al-Musiqa Al-Kabir
·         Fuhus Al-Hikam
·         Al-Tanbih ‘ala Sabil al-Sa’adat
·         Ihsha al-Ulum
·         Al-Jam’ Bayn Ra’y al-Hakimayn
·         Fushuh al-Hikam, da lainnya.
B.     Dasar pemikiran filsafat menurut Al-Farabi
Filsafat menurut Al-Farabi memiliki corak dan tujuan yang berbeda dari tokoh lainnya. Ia mengambil ajaran-ajaran pada filosof terdahulu, membangun kembali dalam bentuk yang susuai dengan lingkup kebudayaan, dan menyusunnya sedemikian sistematis dan selaras. Al-Farabi adlahhseorang yang logis baik dalam pemikiran, pernyataan, argumentasi, diskusi, keterangan dan penalarannya. Fillsafatnya mungkin bertumpu pada beberapa pemikiran yang keliru dan mungkin juga berisi bbeberapa hipotesis yang telah ditolak oleh ilmu pengetahuan modern, tetapi ia mempunyai peranan penting dan pengaruh yang besar dalam bidang pemikiran masa-masa sesudahnya.
1.      Logika. Al-Farabi menyatakan bahwa seni logika umumnya memberikan aturan-aturan, yang apabila diikuti akan memberikan aturan-aturan yang bila dikuti dapat memberikanpemikiran yang besardan mengarahkan kesalahan-kesalahan. Menurutnya logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti. Logika juga membantu membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
     Masalah pokok logika adalah topik-topik yang membahas aturan-aturan pemahaman  yang dikelompokkan menjadi delapan, yaitu: 1) pengelompokkan, 2) Penafsiran, 3) Pengupasan pertama, 4) Pengupasan Kedua, 5) Topik, 6)Sofistik, 7) Retorik, dan 8) Puisi.
     Al-Farabi mengikuti langkah-langkah Aristoteles, meskipun ia memasukkan retorika puisi ke dalam cabang logika.  Sumbangan
2.      Kesatuan Filsafat. Al-Farabi berpendapat bahwa pada hakikatnya filsafat merupakan satu kesatuan. Karena itu, para filosof besar harus menyetujui bahwa satu-satunya tujuan adalah mencari kebenaran. Plato dan Aristoteles yang menjadi cikal-bakal filsafat dan pencipta unsur-unsur dan prinsip-prinsipnya dan penanggung jawab terakhir kesimpulan-kesimpulan dan cabang-cabangnya, sangat setuju meski ada beberapa perbedaan formal hanya ada satu aliran filsafat, yaitu aliran kebenaran. Dalam ajaran Al-Farabi tidak ada yang baru, ajarannya telah lebih dulu dianut oleh para filosof dari aliran Yunani. Dalam bukunya Al-Farabi banyak mempersoalkan gagasan-gagasan para pengikut Aristoteles.
3.      Teori sepuluh kecerdasan. Teori ini menerangkan dua dunia, yaitu langit dan bumi. Ia merupakan dasar ilmu fisika dan astronomi. Bidang utama garapannya adalah pemecahan masalah Yang Esa dan yang banyak dan perbandingan antara yang berubah dan yangtetap. Al-Farabi berpendapat bahwa Yang Esalah yang memancar yang lain, berkat kebaikan dan pengetahuan sendiri-Nya. Ini merupakan kecerdasan pertama. Pengetahuan disini sama dengan penciptaan.  Orang Yunani kuno berpendapat bahwa segalayang bercorak langit adalah suci, dan segara yang becorak bumi tidaklah suci. Jumlah intelegensi ada sepuluh, terdiri atas intelegensi pertama dan sembilan intelegensi planet dan lingkungan. Al-Farabi dala ajaran sepuluh intelegensi ini memecahkan masalah gerak dan perubahan.  Ia menggunakan teori itu untuk memecahkan masalah Yang Esa dan yang banyak.
4.      Teori tentang akal. Teori psikologi Aristoteles telah lama dikenal sederhana dan tepat, sebagai suatu studi objektif. Aristoteles telah mengupayakan teori tentang akal meski tidak  memadai, sehingga menimbulkan masalah yang membingungkan yang modern dan yang kuno. Al-Farabi menyadari permasalahan ini dan melihat di dalamnya suatu ringkasan dari sepuluh teori ilmu pengtahuan. Ia mengidentifikasikannya dengan filsaatnya sendiri.  Al-Farabi mengelompokkan akan menjadi akal praktis, yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan, dan teoritisyang membantu menyempurnakan jiwa. Akal teoritis dibagi lagi menjadi yang fisik (material), yang terbiasa (habitual), dan yang diperoleh (acquired). Akal fisik atau sebagaimana sering disebut Al-Farabi sebagai akal potensial,adalah jiwa atau bagian jiwa atau unsur yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan menyerap esensi kamaujudan.
5.      Teori tentang kenabian. Dasar setiap agaman langit aalah wahyu dan inspirasi. Seorang nabi adalah seorang yang dianugerahi kesempatan untuk dapat langsung berhubungan dengan Tuhan dan diberi kemampuan untuk menyatakan kehendak-Nya. Sangat diperlukan bagi para filosof muslim memberikan penghormatan kepada Nabi, merujukan rasionalitas dengan tradisionalisme, dan mewarnai bahasa bumi dengan firman Tuhan. Sifat utama seorang Nabi memiliki daya imajinasi yang tinggi, yang melaluinya ia dapat berhubungan langsung dengan intelegensi agen dikala tidur atau terjaga. Teori Al-Farabi tentang kenabian mempunyai pengaruh yang jelas, tidak hanya pada barat dan timur, tapi juga pada abad pertengahan dan sejarah modern. Ibn Sina mengikuti sepenuhnya teori ini. Ibn Rusyd mengakui keabsahan teori ini dan sangat heran atas kritik Al-Ghazali karena teori ini memperkuat ajaran Agamadan mengukuhkan bahwa kesempurnaan jiwa dapat diperoleh hanya melalui berhubungan manusia dengan Tuhan.`
6.      Penafsiran atas Al-Quran. Beberapa ajaan agama bersifat tradisional (sam’iyyat), dan tidak dapat ditunjukkan lewat akal, seperti keajaiban, dan hari penentuan yang meliputi hari kiamat, kebangkitan, pengadilan dan hukuman. Menerima sam’iyyat  ini merupakan tiang agama. Orang-orang berian menerima isinya dengan keikhlasan. Al-Farabi mengakui keabsahan keajaiban. Karena hal itu merupakan hal untuk membuktikan kenabian. Ia berpendapat bahwa keajaiban, meski bersifat adialami, tidak bertentangan dengan hukum alam. Al-Qurna menunjuk kepada macam-macam sam’iyyat, seperti tablet dan pena. Al-Farabi berpendapat bahwa hal-hal ini hendaknya jangan dimengeri secara harfiah, karena pena bukanlah alat untuk menulis, demikian pula tablet, ia bukanlah halaman tampat mencatat kata-kata, ketepatan dan kelestarian. Al-tetapi keduanya itu aldalah simbol ketepatan dan kelestarian. Al-Quran juga menerangkan secara luas akhirat, hari kiamat, pahala dan siksa. Tak seorang beriman pun dapat mengingkari kejadian ini tanpa merusak prinsip sangsi ketuhanan dan tanggung jawab individu, meskipunAl-Farabi secara penuh mengakui kebahagiaan yang kekal dan siksaan di akhirat, tetapi ia menjelaskan hal itu sebagai kejadia jiwa yang tidak mempunyai hubungan dengan tubuh atau materi, karena jiwa bukan tubuh yang merasakan kebahagiaan atau penderitaan, bahagia atau susah. Penafsiran ini sesuai dengan kecenderungan Al-Farabi dengan spiritualisme. Ibn Sina mengambil dan menggunakannya secara luas. Ibn Sina berpendapat bahwa tahta dan kusi adalah simbol dunia lingkungan. Shalat bukanlah sekedar gerakan fisik, tetapi bertujuan meniru dunia langit. Seolah kedua filosof ini ingin meletakkan landasan landasan suatu agama filosofis dan filsafat religius.

C.     Metafisika dalam pemikiran Al-Farabi
Jauh sebelum al-Farabi muncul dengan kecemerlangan pikirannya, persoalan-persoalan Metafisika sudah dibicarakan oleh para filosof Yunani. Berbagai jawaban atas pertanyaan- pertanyaan metafisis sudah tersedia walaupun kerap diwarnai dengan perdebatan pendapat. Persoalan Metafisika yang tidak pernah berhenti dibicarakan adalah problematika kehidupan.
Pemikiran Metafisika al-Farabi sering kali dinilai menimbulkan kesukaran interpretatif bagi para pemikir modern. Penisbatan karya Metafisika al-Farabi acap kali bercampur dengan ajaran Metafisika Ibnu Sina, ditambah lagi, para peneliti dalam karya Metafisika al-Farabi menemukan ketidak jelasan sikap al-Farabi dalam mengambil corak Metafisika Aristotelian atau Neo Platonis.
Tentang ketuhanan, al-Farabi ditengarai mengadopsi pemikiran ketuhanan Aristoteles dan Neoplatonisme (dipimpin Plotinus) dengan cara mengidentifikasi Tuhan sebagai al-Maujud al-Awwal yang juga berstatus sebagai sebab pertama. Dalam pembuktian adanya Tuhan , al-Farabi menawarkan argumentasi wajib al-wujud dan dalil mumkin al-wujud. Wajib al-wujud dimengerti sebagai wujud yang harus ada dan tidak mungkin tidak ada. Yang wajib al-wujud ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya sama dan satu. Dia adalah wujud yang sempurna selamanya dan tidak dating atau didahului oleh ketiadaan. Jika wujud ini tidak ada, maka akan timbul banyak kemustahilan dikarenakan wujud lain kerap tergantung pada wujud ini. Sedangkan yang mungkin al-wujud adalah sesuatu yang samar antara berwujud atau tidak, mungkin al-wujud berubah menjadi actual dari kondisi potensialitas dengan bantuan yang wajib al-wujud.
Sejalan dengan perkembangan paham Mu’tazilah, al-Farabi juga meyakini bahwa sifat Tuhan adalah substansinya ketidakterpisahan antara sifat dan dzat Tuhan tidak serta merta membuat al-Faerabi melarang penisbatan sebutan pada Tuhan. penisbatan sebutan pada Tuhan tidak akan mengurangi atau menunjukan bahwa Tuhan adalah dzat dari susunan yang terpilah-pilah. Al-Farabi tidak mengingkari kesempurnaan Tuhan dan ketidak keterbatasannya. Kesempurnaan dan ketidak terbatasan itu yang membuat Tuhan tidak membutuhkan sifat-sifat khusus yang sepenuhnya terpisah dari dzat-Nya. Al-Farabi nampaknya berupaya untuk menjauhakan Tuhan dari sifat-sifat yang ditakutkan akan membatasi dan merusak kesempurnaan-Nya.
Metafisika al-Farabi tidak berhenti pada persoalan ketuhanan saja kelanjutan epistemis dari pembicaraan soal Tuhan mengarah pada masalah penciptaan melalui teori Emanasi. Teori Emanasi al-Farabi merupakan bagian integral dari sumbangan pemikirannya dalam pembahasan sifat dan ruang lingkup Metafisika filsafat Islam dan hubungannya dengan filsafat alam.
Mekanisme Emanasi sebagai teori yang menjelaskan kemunculan semesta dalam pemikiran al-Farabi hanya bias dimulai dengan terlebih dahulu menerima fakta bahwa Tuhan merupakan intelek murni yang hanya memikirkan diri sendiri. Jika dikatakan bahwa Tuhan lah yang wajib al-wujud, maka tidak ada alasan untuk menolak kenyataan bahwa seluruh mungkin al-wujud tergantung padanya. Pengetahuan akan dzatnya menjadi sebsb bagi kemunculan wujud-wujud yang juga telah diketahuinya. Dalam titik ini, al-Farabi berpegang pada azas, yang berasal dari yang satu pasti juga satu(La Yafidu ‘An Al-Wahid Illa Wahid). Bersdasarkan azas ini, al-Farabi berpendapat bahwa Allah YME mustahil melimpahkan aneka hasil emanasi secara langsung. Oleh karena itu, emanasi berlangsung dalam tingkatan dari yang satu sampai yang banyak.

D.       Al-Farabi dan Filsafat
Pergumulan Al Farabi dengan dunia filsafat dimulai sejak ia hijrah ke Bagdad, bertemu pertama kali dengan Matta’. Kemudian ia mendalamunya lagi di Harran, berguru dengan Heilan. Kemudian proses pematangan diri dilakukannya selama 30 tahun di Bagdad sekembalinya dari Harran.
Ciri kefilsafatannya sangat luas, yakni pencampuran antara filsafat Aristoteles dan Platonisme dengan pemikiran keislaman. Selain itu ia termasuk filoosof sinkretis yang percaya akan kesatuan filsafat, yaitu mempertemukan aneka macam aliran filsafat. Aliran tersebut menurutnya satu sekalipun berbeda coraknya. Menurutnya kebenaran itu hanya da satu dan serupa hakekatnya, maka filsafat pun pada hakekatnya tidak ada perbedaan.
Demikian juga filsafata dan agama. Baginya keduanya sama, yakni sama-sama bertujuan untuk mengetahui kebenaran, hanya saja metode yang yang ditempuh sedikit berbeda. Filsafat menempuh argumentasi akal yang yaqini, sedangkan agama menggunakan dalil-dalil yang iqna’i (pemuasan perasaan). Al farabi menerima kebenaran wahyu, namun tidak cukup sampai disitu ia kemudian lari ke filsafat mencoba mencari kebenaran wahyu tadi secara filosofis. Demikian filsafat baginya berfungsi mendukung kebenaran wahyu. Misalnya, ia percaya bahwa Tuhan adalah wujud pertama yang menciptakan alam dan isinya. Namun selnjutnya secara filosofis ia mencoba memperkuat kebenaran tersebut. Dari sini kemudian muncul filsafat emanasinya, bahwa yang banyak itu berasal dari yang satu.
Dari filsafat emanasinya ia membagi yang wujud kedalam dua bagian, pertama yang wajib ada wajib al wujud) yakni wujud secara absolute bersatu dengan zat. Dialah Tuhan. Kedua, yang mungkin ada (Mumkin al wujud), yakni yng pernah tidak ada namun kemudian ada dan keadaanya bias berakhir, seperti alam (bumi).

E.        Al Farabi dan Filsafat Negara
Pemikiran kenegaraan Al Farabi yang terkenal sistematis tertuang dalam karyanya Ara’ Ahl al Madinah al Fadilah. Kitab ini secara substansial banyak diilhami oleh bu Republic karya Plato, sehingga ide-ide kenegaraannya banyak diwarnai pemikiran Plato.
     Sebagaimana Plato dan Aristoteles, Al Farabi juga berpendapat bahwa manusia adalh makhluk social yang memiliki kecenderungan untuk hidup bermasyarakat (bernegara) dengan tujuan disamping memenuhi kebutuhan pokok hidup juga mencapai kebahagiaan material dan spiritual di dunia dan di akhirat. Dari pendapat tersebut tampak bahwa Al Farabi member warna Islam pada pandangan Plato dan Aristoteles dengan menambahkan tujuan masyarakat yang bersifat ukhrawi dari pembentukan negara.
     Kecenderungan manusia hidup bermasyarakat melahirkan berbagai macam masyarakat, yakni masyarakat sempurna dan masyarakat tidak sempurna. Masyarakat sempurna ada tiga, yaitu masyarakat sempurna besar, masyarakat sempurna sedang, dan masyarakat sempurna kecil.
     Masyarakat sempurna besar adalah gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling kerja sama. Masyarakat sempurna sedang adalah masyarakat yang terdiri dari satu bangsa yang menghuni di satu wilayah di bumi ini. Masyarakat sempurna kecil adalah masyarakat yang terdiri dari penghuni kota. Dengan kata lain masyarakat sempurna besar mirip dengan perserikatan bangsa-bangsa, masyarakat sempurna sedang mirip dengan negara nasional, dan masyarakt sempurna kecil mirip dengan negara kota. Bagi Al Farabi system yang terbaik terdapt pada negara kota. Dari pandangan tersebut Nampak bahwa idealisasi negara Al Farabi tidak memandang realitas politik saat itu, dimana pemerintahan islam berbentuk semacam negara nasional.












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al-Farabi bernama lengkap Abu Nashr Muhamad ibn Muhamad ibn Tarkhan ibn Al-Uzalagh. Al-Farabi lahir di Wasij di Distrik Farab (yang juga dikenal dengan nama Utrar) di Transoxiania, sekitar 870 M, dan wafat di Damaskus pada 950 M.Selain sorang filosof ia juga dikenal sebagai ahli dalam bidang logika, matematika dan pengobatan. Ayahnya seorang opsir tentara keturunan Persia yang mengabdi kepada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah. Beliau memiliki dasar pemikiran filsafat, yaitu mengenai:
7.      Logika.
8.      Kesatuan Filsafat.
9.      Teori sepuluh kecerdasan.
10.  Teori tentang akal.
11.  Teori tentang kenabian.
12.  Penafsiran atas Al-Quran.

B.     Saran
            Untuk penulisan makalah, saran kami harus disertai dengan penelitian dari beberapa tokoh yang dianggap penting dan berkaitan dengan materi makalah. Dan kami berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini, agar dapat memberi koreksi yang objektif sehingga kami dapat menyusun makalah dengan lebih baik lagi.


DAFTAR PUSTAKA
Basri,Hasan.Mufti,Zaenal.2009. FILSAFAT ISLAM. Bandung: CV.Insan Mandiri
Hasan, Ilyas. 1985. Para Filosof muslim. Bandung: Mizan.61
Rakhmat, Jalaludin. 2003. Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam.
            Bandung: Mizan. 51
Suntiah, Ratu & Maslani. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Cv. Insan
 Mandiri. 107











  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment