MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi tugas terstruktur Mata Kuliah Filsafat dan Sejarah Kimia
Dosen
Pembimbing :
Ferli
Septi Irwansyah, M.Si
Saepudin
Rahmatullah, M.Si
Penyusun
:
Hadi Maulana Hamzah
PENDIDIKAN KIMIA
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ketika
filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh
yangdisebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu
Rusyd, AlGhazali, dan yang lainnya. Para tokoh ini mempunya peran sangat besar
karena dengan beragam pemikiran mereka filsafat Islam pun dapat dikembangkan.
Dalam
makalah ini, penulis akan memaparkan semampunya hanya tentang filusuf
Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap
Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang
teolog yang mendapat sebutan Hujjah al- Islam. Karena pemikiran Al-Ghazali
begitu beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi
(kalam), tasawuf, dan filsafat, dalam makalah ini akan dibahas tentang filsafat
Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik
terhadap filosof Muslim lainnya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
biografi dan Apa Saja Karya Al-Ghazali dalam Filsafat?
2. Bagaimana
Pemikiran Filsafat Al-Ghazali?
3. Bagaimana
Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat?
C. TujuanPenulisan
Tujuanpenulisandarimakalahiniadalahuntukmengetahuipemikiranfilsafat
Al-Ghazali, terutamadalamaspekSainsdanTeknologi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
dan Karya Al Ghazali
1. Biografi
Al Ghazali
Nama asli
Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi
Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M).
Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di
pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia,
ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani
agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya
kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali. Ayahnya wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada
tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.
Pada masa
kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad
Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali), kemudian
ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajri
beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada
Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya
yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa
itu seperti ilmu matiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena
kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah
”lautan tak bertepi...”.
Setelah Imam
Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk menuju ke Mu’askar,
ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al
Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh
kehormatan sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu
yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali
pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi
Nizamiyah yang berada di kota Baghdad.
Al-Ghazali
kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Ia
mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat
atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.
Di samping
ia menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga diangkat sebagai
konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah dalam
menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi
kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya
berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat (Baghdad)
maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara musibah itu ialah: pertama,
pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al-Ghazali dengan
permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil dan
bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang sama (485 H/1092 M), perdana
Menteri Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat karib al-Ghazali mati dibunuh oleh
seorang pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi. Ketiga, dua tahun
kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi
Amrillah.
Ketiga orang
tersebut, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang selama ini dianggapnya
banyak memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai menjadikannya sebagai
ulama yang terkenal. Dalam hal ini, karena mengingat ketiga orang ini mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang pada saat itu
dikendalikan oleh daulah Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang ini sangat
mengguncangkan kestabilan pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah (dilantik
tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi sangat lemah untuk menangani kemelut
yang terjadi di mana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran Bathiniyah
yang menjadi penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri
Nidham Al-Muluk.
Dalam
suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa
Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan menggunakan penanya.
Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan Khalifah tersebut.
Ia kemudian tampil dengan karangannya yang berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa
Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya aliran Bathiniyah dan baiknya
pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan judul Mustadhhiry. Buku
itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum, shingga simapti masyarakat
terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut kembali. Kemudian
timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi sebaliknya pula, gerakan
Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan pengaruhnya untuk membuat
kekacauan.
Al-Ghazali
merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan
dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari suasana baru,
tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam kehidupannya, ia sering
menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah yang pernah ia singgahi
dan terobosan yang ia lakukan antaralain:
a.
Ketika ia di Baghdad, ia pernah
menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah selama 4 (empat)tahun.
b.
Ia meninggalkan kota Baghdad untuk
berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir 2 (dua) tahun untuk berkhalwat
melatih dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati hati
dengan mengingat Tuhan dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.
c.
kemudian ia menuju ke Palestina
untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di mana para Nabi sejak
dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu pertama dari Allah.
d.
tidak lama kemudian ia meninggalkan
Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai Tentara Salib, terutama ketika
jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, lalu iapun berangkat ke
Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan kebesaran Islam sesudah
Baghdad.
e.
Dari Palestina (Kairo), iapun
melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia hendak berangkat ke
Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama Muhammad bin Taumart
(1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya dari tangan kaum Murabithun,
dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun.Ia mengurungkan
niatnya untuk pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah,
ia berasalan untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam,
yakni melaksanakan ibadah haji, kemudian ia menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.
f.
Selanjutnya ia kembali ke Naisabur,
di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu
hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam
paham sufi di tempat kelahirannya.
2.
Karya-karya Al Ghazali
Menurut
Musthafa Galab, Al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa buku dan
karyanya sebanyak 228 kitab yang terdiri dari berbagai macam ilmu pengetahuan
yang terkenal pada massanya. Diantara banyaknya kitab karya Al Ghazali ada
beberapa kitab tentang Filsafatnya. Kitab-kitab tersebut diantaranya:
a.
Maqashid al-Falasifat (The
tendencies of the Philosophers: Tujuan Ilmu Filsafat). Berisi mengenai
ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu mantiq, fisika dan ilmu
alam.
b.
Tahafut al-falasifat (The
distruction of the Philosopers: Keracunan pemikiran para filosofi). Berisi
pertentangan (kontradiksi) yang ada dalam ajaran filsafat serta dijelaskannya
juga ketidaksesuaiannya dengan akal.
c.
Al-Ma’riful ‘Aqliyah (Ilmu
Pengetahuan yang Rasional). Kitab ini mengungkap asal muasal ilmu-ilmu yang
rasional dan kemudian hakikat apa yang dihasilkan serta ke mana arah tujuan
pastinya.
B. Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
1.
Metafisika
Untuk
pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama
karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil
kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah
seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali
dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai
ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka
(para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut
syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali
meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan
akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang
filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya
sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa
metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu
pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika
(ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan
akidah Islam. Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan
filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika
yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para
filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
2.
Iradat Tuhan
Mengenai
kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari
iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya.
Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan
yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak
merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara
zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan
kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan
adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan
itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia,
terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan
adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan
merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Pengikut
Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat
(hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat
bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak
untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai
contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain.
Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian.
Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah
semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar
dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan
sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu
materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
3.
Etika
Mengenai
filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika
Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika
Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi
Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah
al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru
perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat
yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai
dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif
berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi
sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap
bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya
menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal
keburukan sama sekali.
Al-Ghazali
sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana,
juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu
dan jangan berlebihan.
Bagi
Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari
syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya
yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang
berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat
kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan
pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.
C. Pandangan Al Ghazali terhadap
Filsafat
Para ilmuwan berpendapat bahwa Al
Ghazali bukan seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan
membuangnya. Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya
yang berjudul Tahafut al-Falasifah,
yakni sebagai berikut :
”...sumber
kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar
seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka
mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan
intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di
bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka mendengar bahwa para
filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama
adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan
...”
Jikalau melihat ungkapan di atas,
terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan
agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu
al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka
sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan
ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal
ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah
al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat.
Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya sendiri?
Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku
tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang
terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan
filsafat disebut sebagai seorang filosof?.
Dalam bukunya pula yang berjudul
Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkanfilsosofmenjadi 3 (tiga)
golongan:
1.
Filosof Materialis (Dhariyyun)
Mereka adalah para filosof yang
menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.
2.
Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)
Mereka adala para filosof yang
melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan
tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka
untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam raya ini.
Kendatipun demikian, mereka tetap
mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal
pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
3.
Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)
Mereka adalah filosof Yunani, sperti
Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof
sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan
diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri
termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang
menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para
filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir. Kesalahan para filosof diterangkan
oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah:
a.
Membatalkan pendapat mereka bahwa
alam ini azali,
b.
Membatalkan pendapat mereka bahwa
akal ini kekal,
c.
Menjelaskan keragu-raguan mereka
bahwa Allah Pencipta alam semesta dansesungguhnya alam ini diciptakan-Nya,
d.
Menjelaskan kelemahan mereka dalam
membuktikan Yang Maha Pencipta,
e.
Menjelaskan kelemahan mereka dalam
menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan,
f.
Membatalkan pendapat mereka bahwa
Allah tidak mempunyai sifat,
g.
Membatalkan pendapat mereka bahwa
Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl,
h.
Membatalkan pendapat mereka bahwa
Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah
(hakikat),
i.
Menjelaskan kelemahan pendapat
mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya,
j.
Menjelaskan pernyataan mereka
tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir),
k.
Menjelaskan kelemahan pendapat
mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya
l.
Menjelaskan kelemahan pendapat
mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,
m.
Membatalkan pendapat mereka bahwa
Allah tidak mengetahui juz’iyyat,
n.
Menjelaskan pendapat mereka bahwa
planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya,
o.
Membatalkan apa yang mereka sebutkan
tentang tujuan penggerak dari planet-planet,
p.
Membatalkan pendapat mereka bahwa
planet-planet mengetahui semua juz’iyyat,
q.
Membatalkan pendapat mereka yang
mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam,
r.
Menjelaskan pendapat mereka bahwa
roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai
tubuh,
s.
Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan
tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia,
t.
Membatalkan pendapat mereka yang
menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang akan menerima
kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam nereka hanya roh.
Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah
tersebut ada tiga hal yang bisa menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir,
antara lain :
a.
Alam semesta dan semua substansi qadim.
Para filosof muslim di kala itu
mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya
dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan
tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak
mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan),
karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu
sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Menurut al-Ghazali, bila alam itu
dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak pernah ada) maka mustahil
dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan.
Jadi, paham qadimnya alam membawa
pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan
dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan
bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).
Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan
ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di
samping adanya Tuhan.
Al-Ghazali juga menjawab argumen
filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan apa pun bagi Allah
menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada waktu
diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang
belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah
berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak
demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan
tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya,
harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikata
para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai
iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama.
Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.
Apakah yang menjadi landasan
berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan
yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar
dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan
kehendak unik yang bertindak secara aktual.
”Prinsip
Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia
bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang ia kehendaki; ia
menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dalam bentuk
yang Dia kehendaki”.
Sebenarnya perbedaan yang terjadi
pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah perbedaan penafsiran
antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim berkeyakinan bahwa
penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Dari nihil yang
kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah
menjadi sesuatu yang lain. Justru itu materi asal (al-hayula alula), yang
darinya alam ini disusun, mesti qadim. Materi asal ini diciptakan Allah secara
emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman. Oleh karena itu, apa yang
diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam dan azali. Justru itu alam
ini qidam pula. Interprestasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari
teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, yakni antara sebab dan
musabab tidak ada perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti
materinya berasal dari energi yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi
alam adalah baru. Agaknya, interprestasi ini sejalan dengan ilmu fisika modren.
Menurut ilmu fisika modren, antara
energi dan materi tidak bisa lagi ditarik garis pemisah yang tegas, energi
dapat berubah menjadi materi dan materi dapat berubah menjadi energi. Dengan
kata lain, energi ialah materi yang direnggangkan, sedangkan materi adalah
energi yang dipadatkan.
b. Tuhan tidak
mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang terjadi di alam.
Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak
mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya terperinci/kecil), bukanlah sebuah
pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak
digunakan filosof Muslim itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles.
Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah
sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa
mengetahui yang selain-Nya.
Pendapat para filosof Muslim ini di
jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof itu telah
melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah
perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu
berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang
mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi,
bila seseorang berada di sebelah kanan Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah
kiri Anda, kemudian berpindah lagi kedepan atau kebelakang, maka yang berubah
adalah orang itu, bukanya Anda. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya
yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang
diketahui-Nya itu mengalami perubahan.
Untuk memperkuat argumennya,
al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Maha
Tahu segalanya, baik yang besar atau yang kecil.
Pertama:
Artinya:
”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al
Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi
atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun
sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan
tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab
yang nyata (Lauhmahfuzh).”(Q.S.Yunus:61)
Kedua:
Artinya:”Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat: 16).
Artinya:”Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat: 16).
Dalam ayat ini jelaslah bahwa Allah
Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu Rusyd yang mengatakan Tuhan
hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil (partikular).
Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah ucapan seperti di bawah ini :
Yang menjadi persoalan adalah
pernyataan mereka (para filsafat) ”Tuhan yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang
bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular” pernyataan
ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini menunjukkan
ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah ”tidak ada sebutir atom pun
di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.”
Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd
maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan Allah tidak dapat
dikatakan juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i adalah satuan yang ada di
alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindera.
Kully, mencakup berbagai jenis (nu’). Kully bersifat abstrak, hanya dapat
diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya
tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata
Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat
juz’i dan kully.
c. Pembangkitan
Jasmani Tidak Ada.
Banyak dari para filosof berpendapat
bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam akhirat adalah rohani semata,
sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat nanti,
tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di sana yang dapat merasakan
adalah rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan kebahgiaan dan kepedihan
hanya saat di dunia saja.
Kesesuaian suasana rohani maka
ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat rohani pula. Akan tetapi,
kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau dikembalikan. Dalam mengulas alasan-alasan,
mereka mengemukakan bahwa pengembalian jasad memiliki tiga kemungkinan.
Pertama, manusia terdiri atas badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti
dikatakan oleh sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya
dan yang mengatur badan tidak ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus
hidup, yakni Tuhan tidak lagi menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini
tidak ada, dan badan tidak ada pula. Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan
mengembalikan badan yang sudah tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan
mengembalikan hidupnya yang sudah tidak ada. Dalam perkataan lain, badan
manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk
manusia dan diberikan hidup kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh)
manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di
dunia ini) nantinya dikembalikan lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri
dengan lengkap. Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan,
baik badan dengan anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain
samasekali. Jadi, yang dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya)
tidak terpenting, sedangkan manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan
karena bendanya (badannya).
Atas dasar ini, para filosof muslim
ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad ketika
keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah berpisah antara roh dengan
jasad, berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh menjadi hancur.
Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu.
Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya
hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka
akan menempuh jalan yang sulit dan membutuhkan pemikiran yang panjang, seperti
adanya manusia pincang, manusia buta, dan lainnya. Kalau ini yang terjadi maka
di surga nantinya akan ada sidat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua
tubuh atau sebaliknya. Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah demikian. Jika
demikian terjadilah proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas
hingga menjadi kain.
Menurut al-Ghazali, berdasarkan
gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW. Tentang kehidupan di
akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja. Tetapi pada kehidupan
rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia
yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat
rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu,
menurut al-Ghazali, bukanlah kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah
saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan
jasad di hari akhirat. Pemahaman demikian, menurutnya bertentangan dengan apa
yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits, karena itu dikufurkannya.
Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani. Ini
terbukti dengan perkataannya : ”... adalah bertentangan dengan seluruh
keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani
manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang
terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau
hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah.
Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman
yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara
salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan
mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka
nyatakan itu.
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah
al-Ghazali juga mengatakan; banyak hadits yang mengatakan bahwa roh-roh manusia
merasakan adanya kebaikan atu siksa kubur dan lainnya. Semua ini sebagai
indikasi adanya kekekalan jiwa. Sedangkan kebangkitan jasmani secara eksplisit
telah ditegaskan dalam syara’, yakni berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik
tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini
dikarenakan tubuh manusia dapat berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi
besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya. Namun, hal yang terpenting ada satu
tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah
Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan dengan KeMahakuasaan-Nya tidak merasa
sulit bagi-Nya menjadikan setetes sperma menjadi aneka macam organ tubuh,
seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otoit, lemak, dan sebagainya. Dari
hasil ini detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya
menjadi mata, gigi, perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru itu,
Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada badan (jasmani) di akhirat
ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.
Sungguh pertentangan antara
al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji secara mendalam, maka
pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi karena bedanya
titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan
Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah
Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni dengan
kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal para
filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh
pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari
al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada
kebangkitan.
D. Pandangan Al-Ghazali terhadap Ilmu
Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi
setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak mengetahui arah
hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar, Al-Ghazali berupaya
membuat sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk
selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karyanya
al-Ghazali yang berjudul Ihya Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu
agama. Ini merupakan sebuah karya al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para
ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia. Karena
di dalam buku itu banyak menjelaskan tentang ilmu-ilmu keagamaan Islam,
ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan syari’at.
Pada karyanya yang lain, dan juga
terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz min Ad Dhalal Al-Ghazali
berpendapat bahwa : ”ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu
manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu
(pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus
ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin.
Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri
ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal
pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai
pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang
mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah
jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang
melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur
bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori
Al Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.”
Di lain karyanya yang berjudul The
Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan Mizan Al-Amal (timbangan amal),
al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian :
1.
Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian
teoritis dan praktis.
2.
Pembagian pengetahuan menjadi
pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli).
3.
Pembagian atas ilmu-ilmu religius
(sya’iyyah) dan intelektual (aqliyah).
4.
Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu
fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat).
Menurutnya banyak orang-orang yang
menyimpang dari ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan
manusia saat mempelajari filsafat tanpa ada pegangan atau dasar yang kuat.
Filsafat menurutnya banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk mencari kebenaran.
Oleh sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli
tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang
terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme. Sedangkan
pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar
dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal,
dan tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.
DAFTAR
PUSTAKA
Yanti,Syafieh. 2013. Filsafat Islam Al-GhazalidanPemikiranFilsafatnya. From http://syafieh.blogspot.co.id/2013/04/filsafat-islam-al-ghazali-dan-pemikiran.html, 2 Februari 2016
Anas,Ammar. 2014. MakalahFilsafat
Al-Ghazali. From sitimardia.blogspot.com/2013/06/makalah-filsafat-al-ghazali.html?m=1, 2 Februari 2016
0 comments:
Post a Comment